Catatan Perjalanan Singkat dari Bali
alhamdulillaah,
niat untuk posting blog akhirnya terlaksana juga.
semoga tugas-tugas kuliah segera usai.
amiin.
pada tanggal 8 Oktober 2013, Gusti Allaah yang Maha Pengasih dan Pemberi memberikanku rejeki untuk berkunjung ke Bali. ranah yang lebih dikenal oleh orang luar negeri tinimbang nama Indonesia sebagai negara itu sendiri. tanggal 10 Oktober 2013 saya mengakhiri perjalanan perdana ke Bali. perjalanan ini saya lalui bersama Lulung, Mas Ari, Garil, Ika, Nisa, Biyan, Kamil, Bude Ayik dan Pakde Farid.
ada rasa haru yang menjadi oleh-oleh bagi diri sendiri setelah dari Pulau Tuhan (Dewata), yakni bagaimana menjadi minoritas (saya Muslim) di tengah-tengah Mayoritas (mayoritas penduduk asli Pulau Bali beragama Hindu). di Jogja, yakni tempat saya tinggal, saya akan mendengar suara adzan bersahut-sahutan. sehari 5 kali meski saya terpanggil untuk melaksanakan sholat hanya sekali sehari. suara adzan begitu lantang dan paling menang. tapi di Bali, saya tidak pernah mendengar suara adzan. setidaknya di tempat saya menginap, di daerah Denpasar.
di Jogja, melihat orang berbondong-bondong ke Mesjid ketika adzan berkumandang adalah wajar. apalagi orang-orang tuanya. tapi di Bali pemandangan itu berganti dengan para laki-laki dan perempuan, tua dan muda, dengan pakaian rapi, berwarna putih, mengenakan sarung dan udeng untuk laki-laki, dan mereka berbondong-bondong datang ke Pura Desa. tidak pagi dan tidak malam. mereka senang berdoa dan bersyukur, tutur Pakde Farid yang bekerja di Sanur.
berkat ijin Gusti Allaah juga saya diberi kesempatan untuk melihat salah satu proses sembahyang orang Bali di Bedugul. setelah menunggu cukup lama mengamati mereka bersembahyang dengan khusyuk (sampai hampir ditinggal rombongan), salah seorang Bapak menghampiri saya. beliau bertanya darimana asal saya, barangkali karena saya berkerudung dan begitu gigih melihat mereka sembahyang. lalu beliau menjelaskan upacara apa yang sedang dilaksanakan: Ritus Meajen-ajen, yakni ritus yang dilaksanakan setelah Ngaben untuk melepas roh orang yang meninggal.
meski sangat disayangkan tidak bisa melihat Ngaben, ritus paling mengesankan, saya harus tetap bersyukur sudah disambut ramah oleh mereka. sesampainya di tempat menginap, jika sebelum jam 11 malam, saya akan dapat mendengarkan sejenis lantunan ayat atau doa orang Bali yang sedang beribadah dari pengeras suara sejak matahari terbenam. ibaratnya jika di Jogja mendengar orang mengaji sampai malam.
pengalaman mengesankan menjadi minoritas di tengah-tengah mayoritas. semoga menjadikan diri saya lebih toleran terhadap yang berbeda dengan saya serta memotivasi saya untuk lebih rajin berbuat baik tanpa pandang bulu.
satu pertanyaan lagi:
adakah kehidupan peribadatan orang Islam menarik di mata penganut agama lain, sebagaimana saya tertarik dengan peribadatan orang Hindu?
di dalam pesawat
di Bandara Ngurah Rai
Pemakaman Islam
pintu masuk Tanah Lot
orang jualan souvenir dan lukisan
dilarang masuk
Pura di tengah laut. di Tanah Lot
senja di Pantai Kuta
ada sajen meski di pantai
matahari terbit di Pantai Sanur
jalan tol di atas laut
tanjung Benoa
berjalan menuju Pulau Penyu
Biyan ngasih makan penyu
Samudera Hindia di Ulu Watu
patung di pintu masuk Joger Pusat
selesai sembahyang Meajen-ajen
saat sembahyang Meajen-ajen
Pura Bentara di Bedugul
Gunung Batur
Pura Desa Pakraman Ubud
terminal kepulangan
terima kasih Gusti Allaah!
Pelangi terlihat indah karena ada perbedaan warna, demikianpun hidup :)
BalasHapuskeep sharing dan posting yg berkualitas gan :)
BalasHapusBali pulau yang indah dan terkenal di Indonesia gan, Mantap deh
BalasHapusindah ya kalau sesama umat beragama saling menghormati :) foto2nya juga bagus :)
BalasHapusDan kamu belum bisa melupakan Gerard Way (salah fokus).
BalasHapusArtikel dan fotonya bagus, Mbak.