Cerita Ketika Sempat Jadi Relawan di Kutut
Alhamdulillah,
40 hari Alm. Mas Jambrong dan Mas Imad.
Al-Fatihah….
(7 Maret 2014 - 17 April 2014)
(7 Maret 2014 - 17 April 2014)
Ketika Gunung Kelud erupsi dini hari pada tanggal 14 Februari 2014, Tuhan mengajak saya berpikir: “apa yang bisa kamu lakukan menganggapi situasi ini?” Aku adalah seorang yang sangat egois. Sementara semua orang di timeline twitter berdoa dan berduka, aku diam saja. Tidak merasa iba atau apapun.
potensi dari Jogja Disaster Care tiba di Kutut jam 6 pagi
truk bertangki yang mengangkut pasokan susu segar dari Kutut
potensi berjalan melewati aliran lahar hujan
potensi disambut atap yang gentengnya berguguran
Posko Bantuan Kutut
Kemudian datang ajakan untuk jadi relawan bencana Kelud datang dari beberapa teman. Aku memutuskan bergabung dan pamer ke Tuhan: “Ini lho yang bisa aku lakukan, Tuhan!”. Setidaknya selain memaksakan diri pura-pura iba, jadi relawan lebih keren, pikirku sombong.
Hasil tanpa pikir panjang tersebut:
aku menjadi minoritas di tengah mayoritas.
Pertama, aku menjadi seorang yang tidak kehilangan apapun (kecuali presensi kehadiran kuliah di kampus) di tengah mereka yang kehilangan banyak hal karena erupsi #Kelud.
Kedua, aku diamanahi membantu tim dapur umum untuk konsumsi relawan Jogja Disaster Care dari SEKBER PPADIY selama seminggu di Dusun Kutut, Desa Pandansari, Kec. Ngantang, Kab. Malang, Prov. Jawa Timur. Padahal aku tidak bisa masak. Total ada 48 relawan dengan 7 perempuan sebagai tim dapur umum. Iya, 7 orang perempuan diantara 40 orang laki-laki.
Ketiga, aku berada di lingkungan fisik dan sosial-budaya yang benar-benar baru: di daerah bencana di tengah-tengah teman-teman baru yang kesemuanya adalah anggota pecinta alam. Aku tidak mengenal satupun dari mereka, bahkan teman dari FRU baru kenalan sebelum berangkat.
Selama seminggu bertempat di Balai Dusun Kutut, tim relawan SEKBER PPADIY fokus membantu membersihkan rumah warga. Diutamakan rumah manula dan janda. Dalam sehari target 3 rumah bersih dari material sisa erupsi (pasir setinggi betis laki-laki dewasa). Membersihkan jalan, serta assessment data sumber daya alam dan manusia di Dusun Kutut. Seperangkat alat yang digunakan untuk memasak dan bersih-bersih relawan selama di sini dihibahkan ke warga ketika kami kembali ke Jogja.
Kami ke Dusun Kutut seminggu setelah erupsi. Kondisi di lapangan, 95% lebih (menurut Mas Yudi) atap rumah warga hancur-cur-cur. Sehingga selama menunggu bantuan genteng dari pemerintah (kualitas gentengnya tipis, dipasang oleh tim brimob) dan sumbangan beberapa badan donasi, warga menggunakan terpal/spanduk sebagai penutup atap rumah. Itulah kenapa diadakan penggalangan terpal/spanduk. Tidak terbayang ketika hujan mereka akan berteduh dimana? H+7 erupsi, warga sudah kembali ke rumah masing-masing.
Untuk kebutuhan hidup, warga Kutut sudah bisa membeli di pasar terdekat (don’t ever think it is really near. When they said “deket kok mbak” it means 3 kilos or farest). Warga juga mendapatkan pasokan sembako dari sumbangan yang dibagikan melalui ketua RT masing-masing. Air bersih adalah kebahagiaan tersendiri di sini. Air bersih disediakan dalam tandon air dan diisi sehari sekali (setidaknya selama aku di situ begitu). Tandon tersebut untuk memenuhi kebutuhan 5-7 rumah. Selebihnya air didapat dari menampung air hujan atau mengambil air di sungai aliran lahar hujan.
Kerugian yang dialami selain atap rumah yang rusak, yakni kerusakan lahan pertanian dan kebun, dan ternak mereka terutama sapi yang mati karena tidak terurus selama mereka mengungsi. Padahal Dusun Kutut terkenal sebagai pemasok susu segar. Menurut beberapa sumber, perkiraan total kerugian yang dialami warga ditaksir mencapai Rp 15.710.337.000.
Tidak terasa, seminggu di Kutut berlalu dengan cepat tanpa jalan-jalan kemana-mana. Pertama, lebih banyak waktu dihabiskan untuk istirahat. Kedua, tidak memungkinkan jalan-jalan dan foto-foto di tengah orang yang kesusahan. Apalagi foto selfie. Ketiga, cuaca tidak memungkinkan untuk pergi. Sekali hujan, maka dusun Kutut terisolir lahar hujan. Dusun Kutut adalah salah satu dari 3 dusun yang memang terisolir.
Sepulang dari Kutut, teman-teman bertanya, “kamu ngapain di sana, pah?” dan teman-teman terdekat berkata, “kamu pasti di sana cuma nyusahin relawan yang lain kan?”. Saya cuma bisa nyengir dan laporan ke Tuhan: “iya, Tuhan. saya seminggu di sana ternyata cuma bisa menyusahkan kinerja teman-teman relawan yang lain. Saya useless.”
Jadi, hikmah dari Kutut yang saya dapat: 1) Berangkat modal niat doang, ternyata kalah sama berangkat modal skill. 2) Sangat sulit menolak godaan menjadi wisatawan bencana di daerah tempat bencana. 3) Untuk relawan: sulit menolak kenyataan bahwa sulit menghindarkan diri dari merepotkan warga sekitar, padahal tujuan awal kita adalah berusaha mengurangi beban mereka.
Kedua, aku diamanahi membantu tim dapur umum untuk konsumsi relawan Jogja Disaster Care dari SEKBER PPADIY selama seminggu di Dusun Kutut, Desa Pandansari, Kec. Ngantang, Kab. Malang, Prov. Jawa Timur. Padahal aku tidak bisa masak. Total ada 48 relawan dengan 7 perempuan sebagai tim dapur umum. Iya, 7 orang perempuan diantara 40 orang laki-laki.
Bapak Hijau Hitam lagi mengeruk jalan yang dipenuhi pasir bekas erupsi
lupa namanya bapak siapa, beliau lagi membersihkan rumahnya dari sisa erupsi
potensi laki-laki merakit kaki tiga dan kaki tiga ini yang kemudian disumbangkan ke warga
pemandangan dari Balai Dusun
Ketiga, aku berada di lingkungan fisik dan sosial-budaya yang benar-benar baru: di daerah bencana di tengah-tengah teman-teman baru yang kesemuanya adalah anggota pecinta alam. Aku tidak mengenal satupun dari mereka, bahkan teman dari FRU baru kenalan sebelum berangkat.
Selama seminggu bertempat di Balai Dusun Kutut, tim relawan SEKBER PPADIY fokus membantu membersihkan rumah warga. Diutamakan rumah manula dan janda. Dalam sehari target 3 rumah bersih dari material sisa erupsi (pasir setinggi betis laki-laki dewasa). Membersihkan jalan, serta assessment data sumber daya alam dan manusia di Dusun Kutut. Seperangkat alat yang digunakan untuk memasak dan bersih-bersih relawan selama di sini dihibahkan ke warga ketika kami kembali ke Jogja.
mendung dan jalan menuju ke arah mesjid terdekat. beberapa rumah sudah dipasangi genteng sumbangan. beberapa belum.
menanti air bersih
sumbangan genteng datang
yang pakai slayer namanya Ajeng dan dia jago masak meeen!
Mobil pengangkut air bersih dari Kementrian Pekerjaan Umum
potensi laki-laki sedang bertugas
Mas Ipul pasang kabel di Balai Dusun
Kami ke Dusun Kutut seminggu setelah erupsi. Kondisi di lapangan, 95% lebih (menurut Mas Yudi) atap rumah warga hancur-cur-cur. Sehingga selama menunggu bantuan genteng dari pemerintah (kualitas gentengnya tipis, dipasang oleh tim brimob) dan sumbangan beberapa badan donasi, warga menggunakan terpal/spanduk sebagai penutup atap rumah. Itulah kenapa diadakan penggalangan terpal/spanduk. Tidak terbayang ketika hujan mereka akan berteduh dimana? H+7 erupsi, warga sudah kembali ke rumah masing-masing.
Untuk kebutuhan hidup, warga Kutut sudah bisa membeli di pasar terdekat (don’t ever think it is really near. When they said “deket kok mbak” it means 3 kilos or farest). Warga juga mendapatkan pasokan sembako dari sumbangan yang dibagikan melalui ketua RT masing-masing. Air bersih adalah kebahagiaan tersendiri di sini. Air bersih disediakan dalam tandon air dan diisi sehari sekali (setidaknya selama aku di situ begitu). Tandon tersebut untuk memenuhi kebutuhan 5-7 rumah. Selebihnya air didapat dari menampung air hujan atau mengambil air di sungai aliran lahar hujan.
Logistik potensi dan untuk disumbangkan ke warga
suasana jam 6 pagi di Balai Dusun
potensi laki-laki antri ambil sarapan di Dapur Umum
(kiri-kanan) Alm. Mas Imad, Mas Adict, Mas Ipul, Alm. Mas Jambrong dan Kawer
ini markas tim Dapur Umum. itu si Pakis lagi tidur kecapekan
Tidak terasa, seminggu di Kutut berlalu dengan cepat tanpa jalan-jalan kemana-mana. Pertama, lebih banyak waktu dihabiskan untuk istirahat. Kedua, tidak memungkinkan jalan-jalan dan foto-foto di tengah orang yang kesusahan. Apalagi foto selfie. Ketiga, cuaca tidak memungkinkan untuk pergi. Sekali hujan, maka dusun Kutut terisolir lahar hujan. Dusun Kutut adalah salah satu dari 3 dusun yang memang terisolir.
simbahnya ngambil air bersih
mobil pick up ini mengangkut beberapa sumbangan yang dibagikan secara tidak terkondisi
ini dapur ibu Timunah ketika hari pertama potensi di Kutut
pemandangan rumah tetangga dari dapur ibu Timunah
Badut duduk di atas pasir-pasir hasil potensi dari JDC SEKBER PPA DIY membersihkan rumah warga
Sejan, Ibu Timunah, Ipah dan Ella foto di depan kamar mandi rumah Ibu Timunah
Sepulang dari Kutut, teman-teman bertanya, “kamu ngapain di sana, pah?” dan teman-teman terdekat berkata, “kamu pasti di sana cuma nyusahin relawan yang lain kan?”. Saya cuma bisa nyengir dan laporan ke Tuhan: “iya, Tuhan. saya seminggu di sana ternyata cuma bisa menyusahkan kinerja teman-teman relawan yang lain. Saya useless.”
Jadi, hikmah dari Kutut yang saya dapat: 1) Berangkat modal niat doang, ternyata kalah sama berangkat modal skill. 2) Sangat sulit menolak godaan menjadi wisatawan bencana di daerah tempat bencana. 3) Untuk relawan: sulit menolak kenyataan bahwa sulit menghindarkan diri dari merepotkan warga sekitar, padahal tujuan awal kita adalah berusaha mengurangi beban mereka.
--
“Dari yakin ku teguh…
Hati ikhlasku penuh…
Akan karunia-Mu…
Tanah Air Pusaka…
Indonesia merdeka…
Syukur aku sembahkan,
Ke Hadirat-Mu,
Tuhan…”
Setelah sempat mati rasa di tengah-tengah relawan yang berduka, akhirnya, ketika bersama teman-teman relawan menyanyikan lagu itu depan peti jenazah Mas Jambrong dan Mas Imad yang akan diberangkatkan: aku menangis sejadi-jadinya. Selamat jalan, Mas!
Alm. Mas Jambrong dan Alm. Mas Imad
--
NB:
Credit Title goes to:
- Gusti Allaah – Segala Puji untuk Engkau atas segalanya.
- Alm. Mas Jambrong – “Kamu kok individualis banget?”
- Alm. Mas Imad – “Ternyata Siti itu adik kandungnya temanku seangkatan di jurusan.”
- Tim Fisipol Response Unit – Mas Doni dkk sebagai wadah skill-less-ku menuju Kutut.
- Perwakilan FRU – Ganick, Arab dan Raeksaka yang sudah menemani.
- Panitia SEKBER PPADIY – Mas Samul dkk atas penerimaan dari segala ulahku.
- Relawan SEKBER PPADIY – Bagor dkk atas tawa dan alas tidur yang dibagi.
- Tim Dapur Umum – Ajeng, Geboy, Pakis, Ella, Mega, dan Sejan. Kalian tak terganti.
- Ibu-ibu dekat posko – atas tumpangan shalat tahajjud, sarapan dan segala keributan.
- Mas Yudi – atas segala bentuk bantuan darurat selama di sana.
- Bang Tomi – atas percakapan di kamar jenazah RS. Syarif Hidayatullah Malang, tengah malam.
- Khalimatu Nisa – untuk tugas-tugas humas yang kubebankan padamu.
- Keluarga – untuk sumbangan nasehat, “di sana jangan malah bikin rusuh ya, nak.”
Dan seluruh teman-teman yang sudah meretweet
atau melakukan apapun untuk #Kelud.
Indonesia membutuhkan kalian!
Yang penting niat dan berusaha meringankan, meski ujung2nya merepotkan :))))
BalasHapusTrima kasih telah berbagi pengalaman menjadi relawan pasca erupsi Kelud. saya sedang meneliti peran civil society dalam pemulihan pasca erupsi Kelud. Mohon ijin pengalamanya saya gunakan sbg salah satu referensi ya..
BalasHapus