Pendidikan Anak dan Perempuan (Catatan dari Sawangan, Pemalang)
Alhamdulillah,
Sekaligus merayakan hari Kartini dan hari Ibu Internasional
Kemudian mengenang Marsinah dan TKW lain
“Sudahkah kamu menjadi perempuan yang berdaya?”
--
“jadi orang miskin di kota itu ndak enak mbak ipah.”
“lho, kenapa memangnya?”“kalau orang miskin di kota mau apa-apa itu susah, apalagi mau makan. Semuanya harus beli dan mahal. Kalau orang miskin di desa seperti kita-kita ini, masih enak hidupnya. Mau makan tinggal ambil dari kebun. Murah mbak!”, tukas Ibunya Maula iringi tawa.
Saat itu saya sedang duduk bersama wali murid PAUD-TK
Harapan Bangsa. Satu-satunya PAUD –TK di dusun Sawangan pada Januari 2013 silam. Dusun ini terkenal
sebagai dusun termiskin di desa Penakir, kecamatan Pulosari, kabupaten
Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Oya, ibu-ibu wali murid ini masih muda sekali
lho! Beberapa di antara mereka, seumur dengan saya. Ternyata di dusun ini juga
masih akrab dengan tradisi menikah muda.
Percakapan yang menggetarkan hati bukan? Di saat dingin
begitu menggigit kulit meski berjaket, kabut terus menerus turun, dan hujan
berikut angin tidak absen di depan teras PAUD-TK ini. Sementara itu anak-anak
mereka belajar di dalam beralaskan karpet lusuh, meja belajar yang koyak
kayunya, dan papan tulis yang bukan papan. Tembok ruang kelas mereka dicat
berwarna hitam! Jika hujan, air hujan akan merembes melalui dinding, sehingga
“papan tulis” mereka yang special, tidak bisa digunakan untuk menulis.
PAUD-TK Harapan Bangsa dan para ibu-ibu yang berkumpul
Jika hujan sangat deras, maka para wali murid ini akan duduk
di dalam kelas yang tidak terpakai lalu bercanda bersama. Mereka berbincang
dengan bahasa Ngapak dan saya cuma bisa bengong, ndak tahu artinya. Ada yang
bercanda sambil membuat bulu mata palsu.
“Mbak, susah ya buat bulu matanya?”, tanya saya melihat kegigihan ibu-ibu muda ini merangkai satu per satu helai rambut ke sebuah benang.“Awalnya memang susah mbak. Sekarang sudah biasa.”“Berapa harga sepasang bulu mata?”“Lima ratus mbak.”“Sehari bisa dapat berapa pasang mbak?”“Kalau fokus seharian bisa dapat 20an mbak. Kalau cuma sambilan di sini ya, dapat 5 paling mbak. Ya lumayan buat uang jajan anak, mbak.”
Selain membuat bulu mata palsu, ibu-ibu di dusun ini
merupakan petani yang hebat! Mereka ikut membantu suami mengurus kebun dan
mencari pakan buat kambing atau sapi mereka. Ketika saya ikut ke kebun bapak
angkat saya, jauh di atas bukit dan saya begitu kelelahan, ibu-ibu ini
tersenyum-senyum melihat saya.
“Capek ya mbak?”
Saya cuma bisa nyengir malu. Padahal, ibu-ibu ini kebunnya
lebih jauh lagi dan setiap hari mereka seperti itu. Para suami dan anak
laki-laki mereka juga ke kebun, atau mereka bekerja sebagai buruh bangunan di
Jakarta, Bekasi, Tanggerang di musim kemarau. Jadi ketika suami mereka ke
Jakarta, mereka akan urus kebun dan anak sendirian di rumah. Tangguh sekali!
Seperti Mbak Ayu ini salah satunya,
Mbak Ayu dan putri keduanya
“Kalau kemarau di sini susah sekali airnya mbak, ndak ada mata air. Ndak seperti di dusun sebelah,”, cerita perempuan yang lebih muda dari saya ini.“Kalau suami mbak juga kerja ke Jakarta?”“Iya, mbak.”“Pulangnya kapan mbak?”“Ya diusahakan sebulan sekali. Tapi tergantung proyek bangunannya sampai kapan.”
Sementara itu anak dipangkuannya tertawa-tawa lucu, usianya baru dua bulan dan anaknya yang pertama berusia lima tahun.
perjalanan ke Guci - tempat pemandian air panas bersama Mas Seful
Setiap hari Senin, ibu-ibu ini akan ramai-ramai ke pasar di
kecamatan untuk menjual hasil kebunnya atau sekedar berbelanja. Coak yang saya
tumpangi sangat penuh dan berdesak-desakan. Di hari Rabu, kami akan ke pasar di
kecamatan lain, yakni ke Moga. Pasar di Moga lebih besar dan lebih “kota”.
Ketika saya dan teman saya, Ayu, berhenti tersasar dari dalam pasar besar itu,
coaknya ternyata penuh sekali. Ibu-ibu ini gigih!
Kegigihan perempuan-perempuan dusun Sawangan ini juga
tercermin dari usaha Ibu Umi dan Ibu Mur selaku guru PAUD-TK Harapan Bangsa.
Ibu Umi sebagai satu-satunya perempuan lulusan SMA dan berasal dari Sragen, di sana diutus
menjadi guru PAUD-TK dan mengambil sekolah guru di Moga. Ibu Mur bersama
suaminya merupakan pendiri madrasah aliyah di sana dan gedung madrasah inilah
yang setiap pagi alih fungsi jadi ruang kelas PAUD-TK.
Harapan kedua perempuan
hebat ini sama, “biar pun sekolah kami ndak tinggi, kami ingin anak-anak
kami memiliki semangat sekolah yang lebih dari kami.”
Semangat yang sama juga membuat Mbak Minah, ia menikah di
usia 16 tahun dan tidak melanjutkan jenjang SMP usai lulus SD, ingin anaknya
lebih semangat sekolah dibanding dirinya. Kondisi keuangan keluarganyalah yang
membuat Mbak Minah lebih memilih untuk bekerja daripada melanjutkan sekolah.
Begitu pun dengan Lela, gadis manis yang duduk di kelas 3 SMP. Meski
teman-teman seusianya sudah menikah, Lela ingin melanjutkan perjuangan untuk
sekolah hingga SMA dan menjadi guru agama.
“saya punya cita-cita mbak. Jika ayah saya masih mampu
membiayai, saya akan berusaha,”, ujar Lela.
Dahulu untuk ke jenjang SMP banyak sekali tantangan:
persoalan transportasi dan biaya. SMP terletak di desa sebelah yang sangat
jauh. Apalagi SMA-nya, di kecamatan lain pula. Selain sulit akses menuju ke
SMP, masalah biaya alasan utama. Padahal, sementara itu di tempat saya tinggal
untuk masuk ke SD saja bayarnya melebihi SPMA 1 masuk UGM. Tapi karena kini
sudah dibantu coak antar-jemput siswa, anak-anak di dusun ini jadi tertolong.
Sebenarnya masih banyak cerita tentang perempuan di dusun
ini. Kenapa perempuan? Karena saya belum sempat untuk mengambil informasi dari
para lelaki dusun Sawangan. Informan saya mayoritas ibu-ibu karena saya
nongkrongnya di PAUD-TK Harapan Bangsa. Tapi, laki-laki di sini juga hebat.
Mereka mengurus kebun, berdagang pun juga menjadi buruh bangunan di kota lain
untuk hidupi keluarga bahkan sejak sebelum menikah. Salah satunya adalah Mas
Tarno dan Bapak Angkat saya.
Hikmah yang bisa diambil adalah pada akhirnya perempuan
menjadi ujung tombak pendidikan anak-anaknya. Perempuan sebagai penyebar
semangat belajar kepada anak-anaknya meskipun mereka sendiri harus berkutat
dengan urusan pertahanan hidup yang tidak mudah. Perempuan sebagai ibu
sekaligus istri yang mempertahankan keluarganya di saat suami pergi.
Perempuan-perempuan di dusun Sawangan ini mengajarkan saya banyak hal.
Saya pun jadi ingat dengan percakapan ketika bersama teman,“Aku pengin segera nikaaah!”, saya merengek.“Buat apa cepat-cepat nikah? Selesaikan dulu kuliahmu.”, ujar teman saya.“Tapi kan kuliah bisa sambil nikah.”“Kamu yakin bisa gitu? Banyak yang cita-cita dan perjuangannya pupus di tengah jalan karena mereka memilih menikah muda!”Hingga kini saya masih berpikir, benarkah demikian?
Ah, yang jelas saya rindu perempuan-perempuan hebat di dusun
Sawangan ini. Rindu keluarga Bapak Angkat di sana. Rindu melihat hamparan kol,
cabe, daun bawang, sawi, dan kabut di sana. Memang rindu hidup di desa tidak
ada duanya!
Ibu ini kerap saya temui sedang membawa kayu bakar.
- NB:
- Terima kasih kepada Bapak serta keluarga yang sudah saya dan Ayuk repoti selama 2 minggu lebih. Bapak sudah menjadi keluarga saya sendiri!
- Terima kasih kepada ibu-ibu wali murid PAUD-TK Harapan Bangsa yang sudah menjadi informan saya.
- Terima kasih kepada seluruh warga Dusun Sawangan yang sudah menerima keberadaan saya di sana selama dua minggu dengan ramah.
- Terima kasih kepada perangkat desa Penakir atas bantuannya.
- Terima kasih kepada para panitia TPL Pulosari 2014 atas segala bantuannya.
Ayo semangat kuliah terus nikah.
BalasHapuswah
BalasHapusemang enak di desa sih
tapi kalo g punya kebun
sama aja deh
saya pernah kkn di desa
harga nasi+lauk hampir sama harganya kayak di kota
Bagus banget mbak. Saya suka isi ceritanya.
BalasHapus