Sedikit Catatan KKN di Jikotamo, Pulau Obi


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
 
Tertanggal akhir bulan Juli 2014, saya beserta 29 mahasiswa yang tergabung dalam tim Kuliah Kerja Nyata MLU 01 UGM Antarsemester 2014 berangkat ke Pulau Obi dan balik tanggal 28 Agustus 2014. Pulau Obi ini masuk ke Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, Indonesia bagian timur
 
TARAAAAAA~~~ ini dia peta pulaunya!
 
Saya berserta 9 mahasiswa masuk ke Subunit Jikotamo dan 20 mahasiswa lain masuk ke Desa Laiwui dan Kampung Buton. Ketiga desa ini masuk ke Kecamatan Obi Mayor (dimana selama KKN kami hanya bertemu Camatnya sekali-duakali saja). Sayangnya, selama 1,5 bulan KKN saya tidak pernah ke kecamatan lain atau berkeliling Pulau *sedih*
 
Jalan menuju Desa Kampung Buton. Perjalanan teman-teman antardesa jalan kaki. Lumayanlah 3 kilo tiap hari.
Ruangan TPA An-Nisa dibangun oleh PNPM. Ada ratusan murid setiap harinya yang hanya diampu oleh seorang Kakek difabel.
Keramaian Pelabuhan Jikotamo sebelum kapal Obi Permai berangkat ke Bacan oleh penjual dan pembeli Batu Obi mentah.
Buat kalian yang merasa orang Timur doyan bikin rusuh dan ke Jawa cuma pengin bikin rusuh, kalian harus nyobain langsung hidup di Timur, gaes. Mungkin kalian terlalu terlena dengan peradaban di Jawa dan ketidakmerataan kesejahteraan di Indonesia. Being a minority told you to be more tolerant.

Ruang kelas 1 dan 2 SD Inpres Jikotamo. Kursinya lucuk!

Bros Batu Obi milik istri pengasah Batu Obi. Kreatif!
 
Apalagi jadi minoritas di pulau yang harus 2 kali ganti kapal segede kapal ferri dari Ternate (pulau seribu benteng & pusat penyebaran agama Islam di Timur –cek pelajaran sejarah jaman SD) ke Bacan (pulau yang kayak Jakarta di Jawa. Pusat birokrasi gitu. Tapi ternyata birokrasinya, banyak kasus Korupsi: Bupatinya tertanggal September 2014 resmi jadi tersangka kasus korupsi pengadaan kapal. Gak beda jauh ama Jakarta kan ya? *digiles*) selama 6 jam, lanjut Bacan ke Obi selama 6 jam. Air Goroka adalah bandrek Ternate pengobat mabox laut.
 
Salah satu balita lagi ikutan berjemur dengan cengkeh hasil panen ibunya.
Sekilas Pelabuhan Ferri di Jikotamo yang tidak difungsikan. Katanya kalau malam berfungsi sebagai tempat nongkrong anak muda untuk melakukan 'pergaulan bebas'.
 
Sebelum kapal tiba di Kecamatan Obi Mayor, kapal transit menurunkan barang di Pelabuhan Madapolo, Obi Utara. Pasar kaget di sepanjang dermaga kayu tua, di atas air jernih berwana tosca (di dalamnya ikan-ikan supercantik berenang sangat congkak) menjual cumi-cumi balado dan cumi-cumi rebus yang sangat nikmat seharga 5000an. Lalu kami tiba di Pelabuhan Jikotamo, salah satu pelabuhan besar di kecamatan kami, selain pelabuhan kapal ferri yang rusak dan tidak difungsikan, serta beberapa dermaga kayu tua kecil di pinggir pantai.
 
Antusiasme ibu-ibu saat demo memasak olahan ikan di Pasar Jikotamo, salah satu pasar besar di sekecamatan. Ada ibu-ibu yang semangat ambil resep ternyata beliau buta huruf.
Terumbu karang sebanyak ini untuk fondasi rumah, gaes. Ntar kalau lautnya ndak ada penghalang ombaknya, da aku mah apa atuh cuma ikan sepat di belantara samudera.... Soalnya katanya lebih murah daripada pake bata.
Saya menjadi minoritas di tengah kekayaan cengkeh dan pala (tapi hanya dijual mentah tanpa diolah), ikan laut melimpah (tapi penangkapan menggunakan bom atau setrum, karena ikan sudah mulai sulit ditangkap menggunakan jaring biasa), pohon kelapa menjulang dimana-mana (tapi kopra dan kelapa dijual murah tanpa (lagi) diolah), batu alam batu Obi banyak diburu (tapi tidak ada regulasi yang jelas untuk penjualannya), tambang-tambang nikel dan emas bertebaran (tapi bukan milik mereka, milik asing Indonesia dan asing beneran, pekerjanya banyak yang dari Jawa pula), pasir laut berhektar-hektar (tapi untuk diekspor legal maupun illegal ke Singapur, Tiongkok hingga antah berantah) , hutan bakau nan rimbun (tapi mulai gundul dan para udang kehilangan habitat favoritnya karena penebangan yang massive), terumbu-terumbu karang super indah (tapi banyak yang diambil untuk fondasi rumah padahal mulai punah), dan apa lagi? Pokoknya Tuhan Maha Kaya membuat segalanya rawan eksploitasi.
 
Air lautnya jernih banget kan?
Anak-anak bergerobak ini cari uang jajan tambahan dengan nguli di Pelabuhan Jikotamo. Kadang juga ambilin sampah botol aqua buat dijual lagi.
 
Saya menjadi minoritas di tengah sejarah kelam konflik antaragama Ambon tahun 2000 silam, yang membuat rumah-rumah panggung kayu berjejer di Jikotamo (sebenarnya kenangan tentang konflik lebih pahit dari upaya bertahan hidup tanpa disokong pemerintah daerah). Mereka adalah pengungsi konflik. Di tanah ini, tidak ada penduduk asli. Penduduk (setidaknya di desa Jikotamo) adalah pendatang dari suku Buton, suku Bugis, suku Tobelo Galela dan orang Jawa (tepatnya Jawa Timur). Hidup dengan listrik yang menyala 12 jam saja, bahkan kadang seharian terdengar suara mesin diesel (soal ini pernah bikin warga berdemo tetapi mereka dibungkam dengan senjata dan penjara). Mau update status? Bisa kok. Sebab di sini tidak plosok-plosok amat.
 
Lihat kerumunan hitam di foto itu (bukan sampahnya)? Itu adalah kerumunan ikan-ikan kecil yang lagi dalam perjalanan hijrah. Ini pertama kalinya saya lihat langsung *terharu*
Fikri dan anak-anak Jikotamo berenang di Pelabuhan Jikotamo sore hari usai anak-anak ini memancing ikan menggunakan sampan. SAYA IRI BANGET. Sebab saya tidak bisa berenang *nangis*
 
Di Jikotamo, bensin harganya 10.000/hampir seliter. Ikan-ikan setiap harinya banyak yang harus dibuang karena tidak ada pendingin yang bisa mengawetkan seharian (padahal untuk melaut saja sering merugi). Sampah yang tidak tahu kapan akan diolah dan berhenti berserakan dimana-mana. Bibir pantai sebagai tempat pembuangan sampah akhir dadakan (dimana peran pemerintah daerah soal penanganan sampah?). Jalan berlubang seperti fasilitas sekolah untuk guru dan murid yang berlubang juga  (metode pembelajaran dari pusat menambah lubang besar penyampaian ilmu –tahukah pusat bahwa kurikulum 2013 tidak cocok di sini? Syukur-syukur  sudah dihapuskan). Tidak ada transportasi umum, tetapi cukup kreatif menjadikan avanza sebagai angkot carteran. Barang kadaluarsa? Hal biasa. Untuk baju, makanan ringan, barang elektronik, motor, hingga gaji, mereka harus lintas pulau hingga Jawa.
 
Zaki dan Ummi angkat plang dulu ya gaes.
Rumah-rumah kayu di pinggir pantai yang ditempati oleh para suku pendatang.
 
Saya sendiri tidak dapat berbuat banyak untuk orang-orang di sini meski sudah diberi waktu 1,5 bulan. Saya di Jikotamo sekedar menumpang hidup dan merepotkan saja. Tapi cukup menyenangkan bisa kenal remaja Jikotamo dan memakan ikan air laut setiap hari. Semoga suatu hari saya bisa kembali lagi dan benar-benar melakukan pemberdayaan di desa berpenduduk 2000 jiwa ini.
 
Adik-adik MTS Jikotamo. Mereka generasi penerus bangsa yang berharga.

Suasana Lebaran Idul Fitri. Kami solat ied di Pelabuhan Jikotamo pukul 9 pagi WIT.
 
Ini deskripsi kecil saja. 
Saya belajar banyak soal bertahan hidup 
dari orang-orang di sini.

NB: Maaf fotonya sisanya nyusul ya hehehe
NBB: tulisan lain tentang Pulau Obi nih: http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/07/13/jelajah-pulau-obi-576318.html 

Komentar

  1. pulau tersebut udah tersentuh pembangunan gak, mbak? kayaknya dari foto-fotonya, infrastruktur seperti gak terawat
    tapi pemandangannya keren tuh

    BalasHapus
  2. obimayor terdapat perusahaan nikel yang rata" pekerja proyeknya mendatangkan dari luar negeri(miris).

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sambalnya Satu Bu, Sambal Tomat Ya!

Uang Kembalian dan Siapa yang Lebih Ramah

Cinta Habis Di Orang Lama Itu Hanya Berlaku Bagi Yang Gak Mau Menyembuhkan Luka Patah Hatinya