Minggu, 26 November 2017

, , , , , , ,

The Book of Life dan Moana: Menghargai Arwah Leluhur (review)

gambar dari google


Hidup di jaman yang berkiblat pada kemajuan teknologi (bayangin aja setiap tahun merek handphone berlomba ngeluarin teknologi terbaru mereka!), mempercayai bahwa arwah leluhur membersamai kita adalah sebuah tindakan radikal. Hal-hal gaib seperti hantu, jin, dan arwah adalah hal-hal mustahil yang bisa dipegang kebenarannya, apalagi bagi kaum postivis dan kaum modernis.

Sesuatu yang mampu ditangkap oleh mata seluruh orang dan mampu dilogikakan, memberikan kemenangan pada mereka yang mengatasnamakan garis lurus sebagai penyelamat perjalanan hidup. Segalanya harus obyektif dan mayoritas. Padahal hal-hal gaib justru menjadi incaran mereka yang sudah jengah dengan hal-hal fana.

Jengah dengan segala yang mesti merupa, saya kegirangan ketika menonton animasi The Book of Life dan Moana. Kedua animasi dengan estetika gambar yang unik ini saya tonton bersama keponakan saya. Bagi saya, kedua animasi ini melampaui stereotype terhadap animasi untuk anak-anak pada umumnya: terlalu kekanakan dan membosankan.

Sebenarnya tidak ada yang pernah salah dari kekanakan, karena mereka pernah menjadi bagian dari perjalanan awal kita sebagai manusia. Hanya saja people nowadays selalu mengklaim tidak tertarik dengan hal kekanakan, padahal mereka justru gemar bertingkah lebih dari kekanakan: memalukan. Ada banyak pesan lintas umur dari kedua animasi ini.

Kedua animasi ini bagi saya overrated karena mampu menampilkan pesan yang jelas sudah lama hilang di tengah hiruk pikuk peperangan, perselisihan, dan gegap gempita sebab penggunaan internet dan sistem di dunia/masyarakat yang memburuk akibat kapitalisme. Melalui keheningan di scene Moana yang menyusuri lautan sendirian dan saat Manolo menatap pantulan wajahnya di pedang ketika hendak melawan monster banteng di hadapannya, kita disadarkan bahwa kita tidak hidup sendiri di dunia ini. 

Kita lahir di dunia ini dengan membawa sejarah panjang silsilah keluarga dalam darah kita. Silsilah yang lebih kerap terabaikan, tanpa diarsipkan, dan sedikit sekali kemungkinan mengadakan pertemuan antargenerasi lagi. Silsilah ini turut membentuk diri kita tanpa kita sadari, salah satunya pola asuh orang tua.


gambar dari google


Berawal dari ketidaksepakatan Moana terhadap perintah Ayahnya untuk menetap di pulau Motonui, ia mulai mempertanyakan jati dirinya. “Siapakah aku? Siapakah leluhurku?”. Moana lalu mengakrabi Neneknya, Tala, seorang dukun di sukunya, yang dianggap gila oleh warga. Neneknya memiliki kekuatan mengendalikan ikan Pari yang menurut kultur dari Taotao Mo’na, ia akan bereinkarnasi menjadi ikan Pari. Neneknya yang memperkenalkan Moana sejarah asli suku leluhur mereka yang kini menempati Pulau Motonui yang sejatinya adalah suku pelaut dengan mengajak Moana ke gua tempat perahu-perahu peninggalan leluhur selama ini disembunyikan.

Neneknya pula yang selama ini mengetahui bakat terpendam Moana untuk mengendalikan lautan sebagai penerus terpilih yang mampu mengembalikan jantung Tefiti yang dicuri oleh Maui, Manusia setengah Dewa. Perjalanan yang harus ditempuh oleh Moana adalah perjalanan yang menakutkan sekaligus memberikan banyak pengetahuan karena ia tidak hanya menyeberangi samudera, melainkan berjalan ke dalam dirinya. 


gambar dari google


Sementara itu Manolo berusaha untuk mengubah identitas dirinya yang dipaksakan oleh Ayahnya. Identitas itu adalah identitas yang dibentuk oleh leluhurnya secara turun temurun, yakni sebagai matador yang dengan gagah berani menghabisi para banteng dengan pedang di tangannya. Manolo hanya ingin menjadi pemusik dan menikahi Maria sebagai istrinya. Perjalanan hidupnya kemudian berubah ketika La Muerte dan Xibalba bertaruh apakah Manolo dapat melawan darah leluhurnya yang mengalir di tubuhnya.

Xibalba membuat Manolo bisa memasuki alam arwah dan menemui arwah leluhurnya. Alam arwah ini dibagi menjadi 2, yakni alam atas untuk mereka yang dikenang karena melakukan kebaikan dan alam bawah untuk mereka yang dilupakan karena melakukan kejahatan. Pertemuan dengan leluhur dan ibunya, membuat Manolo semakin yakin bahwa ia memiliki jalan hidupnya sendiri. Usai mengalahkan monster banteng raksasa yang merupakan representasi akumulasi ketakutannya selama ini, Manolo memperoleh restu dari para leluhurnya untuk menjadi dirinya sendiri dan menghapus tradisi membunuh banteng dalam permainan sang matador.

Percakapan antara Nenek Moana dengan cucunya di tengah Samudera dalam wujud Roh Ikan Pari yang menjelma Roh Neneknya dan pertemuan antara para Leluhur Manolo dengan Manolo di Alam Arwah yang kemudian membuat mereka menyadari bahwa Manolo berbeda dengan mereka, merupakan adegan yang tidak bisa kita jumpai dalam keseharian remaja yang sangat sibuk dengan dirinya sendiri dan orang-orang tua yang keras kepala: transfer pengetahuan dan kepercayaan antar generasi dengan lapang dada.

Pada akhirnya menonton Moana dan The Book of Life membuat saya tiba-tiba merindukan leluhur saya yang tidak saya kenali. Komunikasi yang buruk antara saya dan generasi orang tua serta nenek saya membuat saya tidak mengenali sejarah keluarga saya. Sejarah keluarga ini semestinya tidak menjadi asing dan jauh karena memiliki kontribusi besar dalam proses mengenali diri sendiri.

Mengenal diri kita itu artinya menghargai kehadiran yang diupayakan oleh leluhur kita secara turun temurun. Diri kita bukan entitas yang tiba-tiba hadir di dunia ini dan tidak terhubung dengan siapapun. Meskipun pada akhirnya kita memilih jalan hidup yang berbeda, ingatan tentang leluhur baik dari satu darah maupun leluhur dari darah lain tentu tidak boleh kita abaikan.

Pesan ini sangat kuat dalam kedua animasi untuk anak-anak ini, sekaligus membuat saya sangat merinding!

0 komentar:

Posting Komentar