Rabu, 16 Januari 2019

, , , , , , , ,

My Generations dan Posesif: Remaja di Indonesia dan Hal-hal yang Tidak Dibicarakan (review)



Ceritanya udah lama banget pengen ngulas dua film yang mengubah akhir tahun 2017 saya menjadi akhir tahun terbaik: My Generations dan Posesif. Film lokal yang mengangkat isu tentang remaja dengan perspektif yang segar dan sangat intim. Ketidaktahuan saya tentang kedua film ini sebelumnya, berubah menjadi berkah karena sempat menonton kedua film ini. 
My Generations (2017) dan Posesif (2017) adalah oase di tengah gersangnya film lokal yang berani mengangkat isu remaja dan romansa dengan isi cerita yang tidak sekedar manisan di kepala. Sinetron dan FTV sejauh ini hanya mampu menggunakan remaja sebagai tokoh utama untuk bercerita tentang hal itu-itu saja: percintaan dan pertemanan yang tidak lepas dari saling bullying, PDA dan kehidupan hedon. 

Kedua film tentang remaja ini mampu menawarkan cerita lain. Sebenarnya bukan cerita baru dalam kehidupan sehari-hari kita, namun menjadi tampak baru karena apa yang diangkat justru tidak pernah diangkat oleh media hiburan kita: kekerasan dalam pacaran, pergulatan remaja mencari identitasnya, dan pengaruh orang tua dalam tumbuh kembang remaja. 


Melalui keempat tokohnya: Orli, Konji, Zeke, dan Suki, My Generation mencoba menjabarkan beberapa macam persoalan remaja di sekitar kita. Pengemasan cerita yang tidak luput dari kemajuan teknologi, seperti penggunaan smartphone dan media sosial, mengikuti tren terkini pergaulan ala anak kota seperti kehidupan malam khas remaja, dan penggunaan bahasa yang sangat to do point dengan campuran penggunaan bahasa inggris, membuat mereka yang awalnya menonton trailernya hanya terpaku pada penampilan fisik film dan tokohnya. 

Padahal detail yang ditawarkan dalam My Generation sangat luar biasa, baik dari pesan, percakapan dengan isu terkini dan atribut seperti desain kamar para tokoh yang remaja banget. Pesan yang sangat kuat tentang pentingnya orang tua memahami anaknya yang beranjak menjadi remaja disampaikan melalui masalah yang dihadapi keempat tokoh, hadir setelah melalui proses penelitian panjang sutradaranya. 



Ada Konji yang tidak diperbolehkan pacaran karena orang tuanya takut Konji juga hamil di luar nikah, seperti yang mereka pernah lakukan. Ada Zeke yang tidak dianggap sebagai anak karena orang tua tidak mau berkomunikasi dengannya. Ada Suki yang tidak diterima oleh orang tuanya karena dia berbeda dari saudaranya yang sangat mematuhi norma pada umumnya. Ada Orly yang dianggap sebagai anak nakal oleh ibunya yang merupakan perempuan single parent. 

Pada Posesif, sutradara menggambarkan betapa percintaan di masa remaja tidak seremeh yang selalu disebut banyak orang. Remaja sangat mungkin terlibat dalam hubungan yang abusive baik secara fisik, seksual, maupun verbal tanpa orang tuanya ketahui. Remaja yang sudah menjadi korban hubungan abusive kadang tidak tahu bahwa ia berada dalam hubungan yang membahayakan dirinya, lantaran tidak dapat membedakan mana yang cinta, mana yang obsesi. 



Seperti yang dialami oleh Lala. Awalnya Yudhis sangat manis dan baik kepadanya, hingga pelan-pelan Yudhis membuat Lala menjauh dari ayahnya, sahabatnya, dan hobinya. Keposesifan Yudhis berlanjut dengan membentak dan memukul Lala, dan mengintai Lala. Hingga akhirnya diketahui bahwa sikap Yudhis yang abusive ini berasal dari ibunya yang kerap abusive juga Yudhis. 

Emosi saya sangat bercampur aduk saat menonton kedua film ini. Namun, lebih banyak rasa sedih karena saya relate banget dengan kedua film ini. Saya menghabiskan masa remaja saya dengan pengalaman yang mengerikan terlibat abusive relationship dan pertengkaran dengan ibu saya. Rasa kesepian karena tidak tahu harus menceritakan permasalahan betul-betul bikin depresi. Rasa ini juga yang dirasakan oleh para tokoh ketika menghadapi masalah mereka. 


Beruntung para tokoh memiliki teman yang saling menguatkan satu sama lain, dan adanya upaya untuk berdamai dengan orang tua masing-masing. Akhir film yang tampak klise, namun justru sebenarnya yang paling sering luput dipraktekkan dalam kehidupan nyata: orang tua berusaha mendengarkan anak remajanya, mengakui kesalahan mereka sebagai orang tua, dan saling memaafkan satu sama lain. 

Segitu dulu review film yang berujung curhat dan baper dari saya. Jika kalian berkesempatan untuk menonton kedua film ini, jangan lupa perhatikan detail filmnya dan sebarkan pesan baik dari kedua film ini. Dan satu lagi, jika kalian remaja, percayalah bahwa kalian tidak perlu meniru siapapun, tidak artis di televisi atau instagram, tidak pula teman-temanmu. Cukup jadi diri sendiri, seperti yang dilakukan oleh tokoh di kedua film ini.

0 komentar:

Posting Komentar