Jumat, 01 Juli 2022

, ,

Kita Tidak Tahu Apa yang Ada Di Balik Tirai (Depresi dan Remaja)

“Aku tuh nggak tau kenapa aku bisa kayak gini. Aku sebenarnya kenapa sih? Kenapa ketika aku cerita ke orang tuaku, mereka malah nyuruh aku buat dirukyah?”. 
Cerita Melati suatu hari ketika saya dan dia berada dalam satu forum.


“Aku tuh nggak tau kenapa aku bisa terkenal banget kayak gini. Aku tuh padahal cuma posting biasa aja dan orang-orang terus menilai aku.”
Cerita Asoka suatu hari ketika saya dan dia berada dalam satu meja.


Saya pernah menjadi remaja yang tumbuh dengan ‘hasrat ingin diperhatikan berlebihan’. Hasrat itu ternyata bagian dari gangguan mental dan emosi yang saya alami. Saya tumbuh dengan terus mempertanyakan, “Kenapa keluarga saya begini?” karena keluarga saya tidak seperti role model keluarga pada umumnya yang sakinah, mawadah, warahmah ala-ala keluarga selebgram. Apalagi saya diasuh oleh seorang Ibu dan kondisi keuangan keluarga saya yang pas-pasan. Masa kecil saya jaaaaauh dari kemewahan spiritual dan material yang diakses Kirana dan Gempita, anak kecil yang populer di media sosial. 

Maka, sembari terus merutuki keluarga saya, saya mencoba menghabiskan waktu di sekolah. Tujuannya agar saya tidak segera pulang ke rumah. Saya mengikuti ekskul karawitan, hingga sekedar nongkrong sambil makan tempe goreng bersama kawan. Saya menghitungi uang infak selepas Jum’atan, hingga utak-atik blogspot sampai dikenal operator warnet dekat sekolah. Bagi saya, setidaknya saya bisa mendapatkan ‘keluarga’ baru dengan berkegiatan di luar sambil kewalahan mengatur waktu.


Saya juga sempat gigih ingin mendapatkan pengakuan dari laki-laki, pada saat menginjak awal remaja. Obsesi ini mengantarkan saya pada body shamming bagi diri saya sendiri. Karena laki-laki yang saya suka tidak menyukai saya (ini sebenarnya kerap terjadi hahaha), saya juga jadi tidak menyukai diri saya. Saya beranggapan bahwa pasti karena saya jelek dan miskin. Atau barangkali karena saya menyukai band My Chemical Romance dan membaca buku-buku NH Dini dan FLP yang kuno. 


Saya menjadi pemuja kecantikan dan terus menerus iri pada perempuan-perempuan cantik di dunia, karena betapa beruntungnya mereka bisa dengan mudah disukai laki-laki. Dunia menjadi tidak adil bagi saya (pada saat itu saya tidak kenal kultur patriarki dan Mitos Kecantikannya Naomi Wolf). Semakin saya mencari pengakuan dari laki-laki, semakin sering saya ditolak. Semakin sering juga saya update status galau dan semakin banyak follow akun galau di medsos. 


Meski demikian saya tidak menyerah, hingga akhirnya saya betul-betul bisa pacaran dengan laki-laki. Saya sempat sangat senang bisa mengikuti tren masa itu: pacaran ala-ala cerita romance di teenlit keluarannya Gramedia dan Komik Nakayoshi. Hingga saya terpentok kenyataan: saya berada dalam abusive relationship. Laki-laki itu tidak pernah betul-betul mencintai saya. Kenyataan ini baru saya sadari sekarang. Dulu saya hanya merasa, hubungan ini tidak semestinya dilanjutkan karena membuat saya semakin buruk.


Lalu, saya lari kemana lagi? Media sosial. Media sosial akhirnya menjadi pelarian utama saya untuk mendapatkan pengakuan dari netizen dan dinotice senpai. Saya ingin menunjukkan pada publik di luar sana bahwa saya juga seorang yang normal. Tapi ternyata menjadi normal saya tidak cukup. Media sosial menuntut saya untuk menjadi extra ordinary. Ada standar dari sistem yang bekerja, dan pada saat itu tidak saya ketahui. Saya harus memiliki tubuh yang seperti di iklan-iklan, prestasi gemilang seperti para Mahasiswa Berprestasi, kamera hits untuk mendapatkan foto yang brilian, status yang bijak seperti di facebook, gurauan lucu seperti di twitter, ke tempat-tempat populer sehingga gak ketinggalan cerita supaya bisa mereviewnya dengan teman-teman, bergaul dengan orang yang populer sehingga bisa ngetag mereka dalam satu post.


Dengan kata lain, saya harus mendapatkan apa-apa yang tidak ada di saya. Jangankan mau dapat Range Rover seperti Rachel Vennya, saya dapat teman saja susah! Karena pernah dibully oleh sekelompok teman, saya menjadi canggung untuk menjalin pertemanan atau kalau kata orang: sepaneng (dan pada akhirnya saya sadar bahwa kecanggungan ini bukan sebuah keanehan, saya berhak memilih lingkaran pertemanan yang sehat bagi diri saya). Saya menjadi berharap bisa mendapatkan teman dari dumay (baca: Dunia Maya), meskipun pada akhirnya tetap tyda bysa hhhhh. Saya menjadi lupa bahwa saya punya dunia nyata yang harus saya hadapi dan dunia itu tidak terpisah dengan realitas di medsos. Saya juga jadi lupa bahwa ada banyak orang yang perlu ditolong di luar sana.


Sebelum curhatan berkedok nasihat ini semakin panjang, saya persingkat: saya lalu sampai pada satu titik dimana saya menyadari, sepertinya ada yang tidak beres dengan kesehatan mental saya. I have a mental disorder. Ternyata sindrom ‘hasrat ingin diperhatikan’ berlebihan ini membuat saya terus menerus harus lari. Lari dari kenyatan. Sindrom ini membuat saya lelah. 

Saya ingin meyakini bahwa hidup dengan keluarga yang kacau, tidak berprestasi, tidak relijius, tidak kaya, tidak cantik, tidak pandai, tidak banyak kawan dan bukan siapa-siapa adalah bukan kehidupan yang salah. Bahwa memiliki haters adalah bagian dari hidup yang tidak bisa dipungkiri karena rumput tetangga memang ditakdirkan lebih hijau. Bahwa nyinyirin hidup orang lain dengan sangat terfokus untuk mencari kesalahannya adalah sebuah bagian dari hidup yang tidak bisa dihindari akan terjadi pada kita bahkan Maria Magdalena pun dulu dinyinyirin! Perempuan Suci gitu lho dinyinyirin!


Seperti cerita Melati dan Asoka di atas, sebelum menyadari ada yang tidak beres, saya dulu juga kebingungan atas apa yang saya hadapi. Namun, secuek apapun coba saya lupakan, dan segigih apapun masyarakat menilai depresi sebagai sebuah lelucon, saya tidak bisa menyembunyikan rasa lelah yang saya alami. Saya ingin sembuh. Beruntung saya memiliki akses informasi untuk mencari tahu langsung ke pihak professional bagaimana cara menyembuhkan diri. 


Ada banyak psikolog, psikiater, meditator, hingga pengobatan lainnya yang bisa ditempuh, seperti yang dikampanyekan Klub 2AM, zine yang ngebahas tentang kesehatan mental bagi remaja. Maka, saya sekarang berada dalam jangkauan therapist karena saya tidak bisa betul-betul sendiri dalam fase ini. Saya mengikuti pelatihan untuk menyelesaikan gangguan mental dan emosional saya. Proses ini memang akan memakan waktu sangat lama. Tapi ini adalah investasi yang luar biasa bagi masa depan saya: memiliki body, mind and soul yang sehat.


Lalu, apakah dengan saya menuliskan ini maka saya akan sembuh dari gangguan mental dan emosional saya? Tidak. Justru siapapun yang membaca ini bisa jadi akan menghakimi dan bahkan membully saya setelah tahu apa yang saya alami. Mereka barangkali akan berkata saya lemah, saya drama, saya lebay. Tapi, ini hidup saya. Orang lain memang hanya bisa menonton apa yang ada di depan panggung. Namun, kalian bisa mengambil pelajaran dari hidup saya yang saya ceritakan: bahwa jangan takut untuk menerima diri kalian apa adanya termasuk kondisi kesehatan mental kalian. 

Kata Jalaludin Rumi, berterima kasihlah kepada tubuhmu yang telah menjadi kendaraan bagi rohmu. Biar bagaimana pun rohmu sudah berjuang sejauh ini dan itu berharga. Dan jika kalian membutuhkan bantuan dari pihak professional untuk bangkit, jangan ragu untuk melakukannya. Sebab, kesehatan mental bukan lelucon. Dan berhentilah untuk melakukan bullying pada siapapun. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di balik tirai: yakni kondisi mental orang lain.



Jogja, 2017

0 komentar:

Posting Komentar