Kenapa Rasanya Seperti Diburu-buru Untuk Menikah?

Aku memikirkan beberapa jawaban dari apa yang kurasakan terhadap pertanyaan di judul post ini.

1. Standar sosial
Ada satu standar sosial yang diberlakukan terutama terhadap perempuan, yakni menikah semuda mungkin sebelum usia 30 tahun. Standar sosial ini biasa ditemui saat perkumpulan keluarga, perkumpulan dengan orang tua di masyarakat (misal rapat RT atau pengajian di masjid), dan pertemuan dengan teman yang mengamini standar sosial ini adalah standar yang wajib dipenuhi semua orang.

Standar sosial ini juga yang membuat kita dibandingkan dengan sepupu, tetangga, anaknya teman orang tua kita, anaknya teman pengajian orang tua kita, atau sesederhana orang lewat di timeline media sosial orang tua kita. Prinsipnya adalah "jika anak orang lain bisa, kenapa anakku tidak?".

2. Algoritma Media Sosial
Algoritma sialan ini membuat isi dunia seolah-olah berhenti di satu tema saja. Jika aku terus mencari keyword atau melihat satu konten dengan tema tertentu, maka yang muncul adalah konten tema yang itu melulu. Atau sialnya kalau ada ribuan akun yang merepost satu konten, maka konten tersebut akan mampir di beranda media sosial kita. 

Yes, salah satu tema tersebut adalah proses perkenalan yang tampak sederhana hingga berujung pada pernikahan yang tidak memakan waktu lama, atau istilah jaman sekarang itu sat set dan ugal-ugalan. 

Dimulai dari screenshot chat awal kenalan dan ditutup dengan foto pernikahan. Lalu tambahan cerita bahwa prosesnya sangat cepat, rata-rata 3 bulan sejak kenalan langsung menikah. Jasa pernikahan melalui ta'aruf bahkan mulai tersaingi kecepatannya dengan kenalan melalui dating apps atau media sosial.

Siapa yang tidak ngiler jika disuguhi konten pernikahan sat set setiap saat? Rasanya pernikahan seperti itu sangat mudah dijalani... iya, dijalani oleh orang lain. Makanya selalu ada yang komentar di postingan seperti itu, "Kok orang-orang pada bisa ya?"

3. Keinginan Membahagiakan Orang Tua
Ingin mewujudkan keinginan orang tua dengan harapan dapat membahagiakan orang tua tentu hal yang mulia. Nah, persoalannya adalah ketika keinginan orang tua adalah si anak segera menikah. 

Macam-macam alasannya, mulai dari kebutuhan pemenuhan ekonomi (misal agar anak segera ada yang membiayai hidupnya), ingin memenuhi standar sosial (karena anak-anak teman pengajian sudah pada menikah), tidak mampu lagi menjaga anak, ingin segera menimang cucu, merasa anak sudah cukup mapan untuk menikah, malu sama tetangga, atau ketakutan anak tidak laku jika semakin tua.

Sadar atau tidak memang orang tuanya memaksa secara halus agar segera menikah. Rasa sungkan karena belum bisa memenuhi harapan orang tua membuat dorongan untuk menikah membumbung tinggi.

4. Mitos Semakin Tua Semakin Tidak Laku
Memang benar ketika kita semakin bertambah umur, maka akan semakin sulit mendapatkan pasangan. Hal ini bukan tanpa alasan logis. Namun, tidak benar juga bahwa kita tidak akan laku jika semakin tua tidak segera menikah. Hei, kita bukan barang dan pernikahan bukan perniagaan.

Ketika rata-rata menikah pada usia 22 - 28 tahun sebagaimana standar sosial yang berlaku maupun karena kesadaran, kesempatan dan memang sudah takdirnya, maka peluang untuk mendapatkan laki-laki/perempuan single belum pernah menikah saat kita berusia 35 tahun ke atas tentu lebih sedikit. Peluang menjadi besar ketika mau menerima duda/janda, laki-laki/perempuan yang usianya jauh berbeda, beda status sosial, beda suku, beda agama, dan beda negara.

Lalu kesadaran yang mulai tinggi bahwa memilih seseorang untuk dijadikan pasangan seumur hidup tidak bisa sembarangan, sakralnya ikatan pernikahan, kebutuhan akan pasangan hidup yang tidak patriarkis, dan trauma dari hubungan pernikahan ayah-ibu yang mempengaruhi keinginan menikah, inilah yang membuat semakin lama kita hidup di dunia, maka semakin terasa sedikit orang yang juga memiliki kesadaran ini.

5. Melihat Teman-teman di Sekitar Menikah
Tidak hanya melihat di media sosial orang lain, melihat langsung teman-teman di sekitar kita menikah pun juga memberikan dampak berupa peer pressure. Rasa yang sama seperti ketika kita di sekolah dan tidak dipilih untuk menjadi anggota geng atau tidak bisa mengikuti standar trend di sekolah, seperti kotak pensil tingkat, rambut lurus direbonding, merokok atau les di ganesha operation.

Rasanya sepi ketika teman-teman mulai sibuk dengan rumah tangganya. Tidak lupa juga feeling left out ketika tidak bisa mengikuti peer pressure. Padahal kita bukan lagi remaja SMP/SMA yang harus mengikuti peer pressure untuk merasa diri kita berharga.

6. Kesepian dan Ingin Dicintai
Kurasa alasan yang paling jujur atas keinginan untuk segera menikah adalah kesepian. Memiliki suami/istri rasanya mungkin memang menyenangkan seperti di konten-konten hasil algoritma sialan itu. Ada yang menemani bicara dan tidur. Ada yang mencintai dan menerima kita yang bangun tidur kucel dan bau iler. Ada yang bisa dicium dan dipeluk. Serta ada yang bisa diajak untuk melakukan kegiatan reproduksi untuk meneruskan gen kita.

Kesepian ini sumbernya banyak, mulai dari pola asuh orang tua yang toksik, keberhargaan diri yang rendah, luka dari hubungan asmara dengan orang brengsek yang belum sembuh, maupun alienasi karena merasa berbeda dari peer pressure.

Jika tidak kesepian, maka 5 alasan di atas tidak akan mempengaruhi keinginan untuk menikah secara tergesa-gesa. Mau sedunia nyuruh nikah, ya bodo amat, karena sini punya prinsip sendiri itu nikmat dan bukanlah sebuah aib.

Jadi, dari 6 alasan di atas, yang mana yang menjadi alasanmu ingin buru-buru menikah?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sambalnya Satu Bu, Sambal Tomat Ya!

Uang Kembalian dan Siapa yang Lebih Ramah

Cinta Habis Di Orang Lama Itu Hanya Berlaku Bagi Yang Gak Mau Menyembuhkan Luka Patah Hatinya