Memoar Perjalanan: Sewajarnya Kritis Atas Ketimpangan Pembangunan Desa-Kota Jawa-Luar Jawa
Tidak terasa ternyata sudah bertahun lalu aku memulai perjalanan bepergian dari satu daerah ke daerah lain di Indonesia. Perjalanan antar daerah sebenarnya sudah dimulai sejak kelahiranku, namun ternyata sampai saat ini masih berlanjut melalui pekerjaanku. Meskipun bagiku rasanya masih sureal aku bisa menjejak ke berbagai tanah di negara ini, tetap saja aku sudah melalui semua perjalanan itu.
Ada satu hal yang sama di hampir semua daerah yang aku singgahi yakni ketimpangan pembangunan antara pulau jawa dengan luar jawa, antara kota dengan desa. Terutama pembangunan fasilitas umum seperti air bersih, jalan, jembatan, sekolah (tingkat dasar hingga menengah atas, dan sekolah tinggi), dan fasilitas kesehatan. Ketimpangan ini membuat kota dan pulau jawa adalah satu-satunya solusi dan kiblat kemajuan.
Maka, aku heran ketika ada program memberi makan siang untuk anak sekolah dan memberi televisi flat ke sekolah. Program seperti itu tidak menyelesaikan akar masalah ketimpangan pembangunan, bahkan ternyata menambah masalah (lihatlah berapa banyak anak sekolah yang keracunan!).
Bagaimana anak bisa sekolah jika bangunannya saja tidak layak? Bagaimana anak bisa bermimpi untuk sekolah tinggi jika jarak desa dengan sekolah menengahnya jauh sekali? Bagaimana bisa mereka yakin untuk sekolah tinggi saat lulusan sekolah tinggi tidak bisa mendapatkan lowongan pekerjaan yang manusiawi?
Lalu apakah mereka bisa bersekolah dengan nyaman jika air bersih saja kesulitan? Apakah hal-hal tersebut bisa diselesaikan dengan makan siang dan televisi? Ataukah memang tidak ada niatan untuk membangun generasi yang cerdas dan berdaya? Terlebih apakah tidak ada niatan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan kota-desa?
Pertanyaan-pertanyaanku tidak lahir dari provokasi antek asing, akun anon kritis seperti budibukanintel, diskusi-diskusi pemikiran komunis, atau membaca buku anarkisme. Pertanyaanku lahir dari menyaksikan langsung kondisi sekolah-sekolah di berbagai daerah. Bahkan aku juga mengalami ketimpangan pembangunan sekolah saat aku pindah ke Jawa dari ujung Pulau Sumatra.
Jadi kalau aku dituduh aku ikut gerakan pemberontakan terhadap rezim yang menindas ini, aku tinggal kasih CV-ku biar jadi bukti aku sudah pergi ke tempat-tempat yang menjadi saksi ketimpangan pembangunan kota-desa dan jawa-luar jawa. Pada akhirnya aku mensyukuri setiap perjalanan yang kulalui karena merendahkan hatiku dan meninggikan amarahku pada negara yang nepo dan dikuasai oligarki.
---tulisan ini dibuat sebagai memoar perjalananku
Komentar
Posting Komentar