Tidak Ada yang Datang Menyelamatkan Diri Ini Adalah Kenyataan Yang Menyakitkan
Klienku datang dengan jujur menceritakan harapannya agar ada laki-laki yang menyelamatkannya dari hidup yang buruk. Ia adalah klien yang sudah kerap konsultasi padaku sehingga bisa terbuka padaku dan aku bisa lebih memahami harapannya. Klienku tidak sendiri. Ada banyak perempuan yang berharap diselamatkan oleh laki-laki dari hidup yang buruk. Perempuan itu salah satunya adalah aku.
Berharap tidak perlu bekerja lagi, karena ingin dinafkahi. Berharap tidak perlu mencintai diri sendiri karena ingin dicintai. Berharap tidak perlu mencari solusi sendiri atas masalah yang dihadapi karena ingin dibantu lari dari masalah saat ini. Berharap tidak perlu tinggal di rumah orang tua lagi, karena ingin pergi jauh dari rumah dengan laki-laki.
Aku tumbuh dengan memelihara keinginan kuat untuk diselamatkan oleh seseorang, terutama laki-laki. Sehingga aku tumbuh dengan mengejar laki-laki; agar aku dicintai, dibiayai hidupku, dibantu keluar dari rumah, dibantu selesaikan masalahku, dan agar aku tidak kesepian.
Sialnya keinginan tersebut terlalu kuat sehingga logikaku hilang dan aku lupa bahwa saat ini aku tumbuh di dunia yang bergerak dengan sistem patriarki-- dunia yang merendahkan perempuan serendah-rendahnya. Dunia yang menciptakan laki-laki brengsek lebih banyak daripada laki-laki yang baik. Laki-laki brengsek yang tidak bisa menghargai perempuan karena dididik untuk merendahkan perempuan dan egonya dikuatkan dengan menyiksa perempuan.
Tentu petaka demi petaka datang saat aku memilih mewujudkan keinginanku diselamatkan daripada memilih menyelamatkan diriku sendiri. Petaka dari satu laki-laki brengsek ke laki-laki brengsek lain. Petaka yang membuatku menumpuk luka. Petaka yang membuatku marah pada Tuhan; Ia Yang Maha Segala tidak pernah mewujudkan keinginanku agar diselamatkan oleh laki-laki, padahal perempuan lain mendapatkan keinginanku.
Hingga setelah puluhan tahun timbunan luka semakin menganga sehingga aku tak sanggup lagi menanggungnya karena sangat menyakitkan, akhirnya aku memilih menyerah ingin diselamatkan oleh orang lain, terutama dengan dicintai oleh laki-laki. Aku tidak akan pernah lupa hari itu karena rasa sakit yang kurasakan sangat mengerikan dan dalam.
Bahkan di titik sakit terdalam itu, aku sendiri. Aku tidak diselamatkan siapapun. Lagi pula siapa yang bisa memahami luka sedalam itu karena mereka tidak pernah mengalaminya sama persis dengan yang kualami. Rasa sakit itu pun bertambah saat menyadari sampai akhir aku tetap sendiri, keinginanku tidak mewujud.
Lalu siapa yang menyelamatkanku saat aku sendiri? Diriku sendiri..... dan Tuhan. Aku harus alami kesakitan yang sangat hanya untuk menerima kenyataan bahwa hanya diriku dan Tuhanlah yang mampu menyelamatkanku, bukan orang lain.
Maka, saat aku berkata ke klienku agar ia menyelamatkan dirinya sendiri daripada menunggu diselamatkan oleh seseorang, terutama oleh laki-laki, aku tidak berkata itu dari buku self help sebagai kalimat mutiara semata. Aku berkata dari kedalaman diriku, dari diriku yang pernah alami yang ia alami dan tidak ingin ia alami luka separah milikku. Dari aku yang ingin ia berhenti ingin diselamatkan.
Aku tahu bahwa menyelamatkan diri sendiri dan menerima kenyataan kita tidak akan pernah diselamatkan oleh orang lain itu menyakitkan. Aku tahu bahwa konsep menyelamatkan diri sendiri adalah asing dan tidak memuaskan ego yang meraung-raung ingin dipuaskan orang lain. Namun, aku tetap menyampaikan padanya,
"Selamatkanlah dirimu. Dirimu lebih dari mampu menyelamatkan dirimu sendiri."
...sebagaimana aku mengatakan hal serupa pada diriku sendiri berkali-kali. Meski sulit,
"Ada Tuhan yang membackupmu. Kamu tidak pernah benar-benar sendiri, sebab ada Ia. Ia yang sengaja tidak mewujudkan keinginanmu agar diselamatkan orang lain, karena Ia tahu bahwa kamu lebih dari mampu menyelamatkan dirimu sendiri."
---Tulisan ini kutulis untuk merayakan keberanianku hadapi rasa sakit waktu itu, 2024
Komentar
Posting Komentar