Jumat, 12 Mei 2023

Demi dan Dinda: Nasib Cinta Perempuan Tidak Hanya Satu Jalan

Hari itu aku berkenalan dengan Demi dari film Panduan Mempersiapkan Perpisahan. Demi adalah perempuan muda dari Jakarta yang mencoba membangun dirinya yang lain di Jogja. Rasanya Jogja menjadi tempat pelarian yang sempurna, terutama sejak mengenal Bara. Laki-laki sedikit introvert yang menyukai buku, music, dan pertunjukan seni ini mau menemani Demi kemanapun di Jogja. Hingga Bara mengira, ia adalah tempat pulang Demi yang lebih dari sementara.



Aku juga berkenalan dengan Dinda dari film Story of Dinda. Dinda adalah perempuan muda yang kesulitan lepas dari rasa tidak berharga karena mengalami relasi abusive berkali-kali. Dinda bertemu dengan Pram yang sedang memiliki masalah dengan istrinya. Pram membuat Dinda memikirkan ada jalan lain selain setiap Dinda memiliki masalah dan menggerakkan Dinda untuk melakukan perubahan untuk diri Dinda sendiri. Hingga Pram dan Dinda memilih untuk sama-sama berdamai dengan kondisi masing-masing.


Kedua film ini sama-sama bercerita tentang perempuan muda yang memiliki hubungan asmara dengan seorang laki-laki. Perempuan muda yang cantik, berasal dari kota yang memiliki banyak kesempatan di masa depan namun harus bertanggung jawab dengan pilihan mereka. Film ini pun alur ceritanya sama-sama di mulai dari masa depan dan flash back ke masa lalu.

Meski demikian kedua film ini memiliki kontras warna yang berbeda. Story of Dinda didominasi warna pastel dan cahaya yang terang. Sedangkan Panduan Mempersiapkan Perpisahan cenderung berwarna gelap, hitam putih, dan suram. Pada Story of Dinda, cerita diceritakan dari sudut pandang orang ketiga. Pada Panduan Mempersiapkan Perpisahan, cerita diceritakan dari sudut pandang orang pertama yakni Bara, pun sebenarnya memang menceritakan kisah Bara.


Ending dan pelajaran yang bisa diambil dari kedua film ini pun berbeda. Demi dengan penyesalannya melepas Bara karena keterlambatannya menyadari ketulusan Bara. Dinda dengan keberaniannya untuk mengambil pilihan membahagiakan dirinya sendiri dan menerima perasaan Pram perlahan. Demi kerap bertengkar dengan Bara. Dinda justru kerap berdiskusi dan menenangkan diri dengan Pram.


Dari kedua film ini, kita jadi tahu bahwa perempuan muda memiliki masalah dalam hal asmara yang berbeda satu sama lain, meski sama-sama perempuan dan seumuran. Maka tren relasi asmara yang dipamerkan oleh konten creator TikTok menjadi tidak sah, sehingga pertanyaan, “kok orang-orang pada bisa begini ya?” atau bahkan, “kok kelahiran tahun 2000 udah punya anak ya? Aku aja pacar gak ada,” tidak semestinya jadi beban pikiran netijen yang belum bisa mengikuti atau tidak memiliki relasi asmara sesuai tren TikTok.




Aku percaya setiap laki-laki atau perempuan yang kita temui lalu menjalin hubungan asmara dengannya, akan membawa kita pada cerita yang berbeda. Maka kita tidak bisa membandingkan hubungan dan pasangan kita dengan milik orang lain. Sebagaimana takdir dan nasib manusia yang memang berbeda satu sama lain, maka kita tidak bisa membandingkan diri kita dengan diri orang lain. Pun luka dan trauma yang kita alami di masa lalu juga akan membentuk pola pikir, pola kebiasaan, dan pola hidup yang berbeda di antara kita, meski kita sama jenis kelamin, usia, bahkan tempat tinggal.


Jika kita telah mencari laki-laki atau perempuan yang baru namun tetap memiliki cerita yang sama atau karakter mereka sama dengan yang dulu, coba cek ulang ke dalam diri, “apakah ada luka/trauma yang belum disembuhkan dari hubungan yang lalu atau dari hubungan ayah dan ibu kita?”. Luka/trauma yang belum disembuhkan membuat kita cenderung mencari laki-laki atau perempuan yang karakternya sama dengan si pemberi luka dari masa lalu, baik itu mantan gebetan, mantan pacar, atau mantan suami/istri, maupun ayah atau ibu kita.



Perbincangan tentang pengaruh luka/trauma terhadap hubungan asmara yang dialami saat ini bisa ditemukan secara implisit di kedua film ini. Dinda yang terus menerus dapat pasangan abusive. Hubungan masa lalu yang abusive menghancurkan keberhargaan diri Dinda, hingga ia merasa layak untuk terus mendapatkan pasangan abusive seperti Kale. Dinda pun jadi merasa tidak layak untuk menyuarakan keputusannya. Sedangkan Demi tidak berani untuk berkomitmen. Demi tidak tertarik pada laki-laki yang lembut dan tulus mencintainya seperti Bara. Namun tidak dijelaskan dengan detail apa trauma Demi, karena film ini menceritakan sudut pandang Bara. Namun di akhir film sempat digambarkan Demi adalah anak yang tumbuh tidak bisa menolak permintaan orang tuanya sekaligus tidak memahami resiko dari pilihan yang dia ambil, barang kali ini yang membuatnya kesilitan untuk mengambil keputusan dan berkomitmen.


Dari potret perempuan muda di kedua film ini, Demi dan Dinda, kita menyadari bahwa nasib cinta perempuan tidak ada yang satu jalan. Ada banyak factor yang membuat Demi bertemu Bara, Dinda bertemu Pram, dan factor kenapa mereka memilih menjalani hubungan dengan cara yang berbeda satu sama lain dan ending hubungan pun berbeda satu sama lain. Maka sebenarnya kita tidak bisa benar-benar iri pada hubungan orang lain dan menjadikan hubungan orang lain sebagai satu patokan pasti kebahagiaan hubungan kita. Satu yang perlu jadi patokan kesadaran kita adalah bagaimana masa lalu asmara kita, apakah kita sudah menyembuhkan luka kita sendiri?
Continue reading Demi dan Dinda: Nasib Cinta Perempuan Tidak Hanya Satu Jalan

Jumat, 01 Juli 2022

, ,

Kita Tidak Tahu Apa yang Ada Di Balik Tirai (Depresi dan Remaja)

“Aku tuh nggak tau kenapa aku bisa kayak gini. Aku sebenarnya kenapa sih? Kenapa ketika aku cerita ke orang tuaku, mereka malah nyuruh aku buat dirukyah?”. 
Cerita Melati suatu hari ketika saya dan dia berada dalam satu forum.


“Aku tuh nggak tau kenapa aku bisa terkenal banget kayak gini. Aku tuh padahal cuma posting biasa aja dan orang-orang terus menilai aku.”
Cerita Asoka suatu hari ketika saya dan dia berada dalam satu meja.


Saya pernah menjadi remaja yang tumbuh dengan ‘hasrat ingin diperhatikan berlebihan’. Hasrat itu ternyata bagian dari gangguan mental dan emosi yang saya alami. Saya tumbuh dengan terus mempertanyakan, “Kenapa keluarga saya begini?” karena keluarga saya tidak seperti role model keluarga pada umumnya yang sakinah, mawadah, warahmah ala-ala keluarga selebgram. Apalagi saya diasuh oleh seorang Ibu dan kondisi keuangan keluarga saya yang pas-pasan. Masa kecil saya jaaaaauh dari kemewahan spiritual dan material yang diakses Kirana dan Gempita, anak kecil yang populer di media sosial. 

Maka, sembari terus merutuki keluarga saya, saya mencoba menghabiskan waktu di sekolah. Tujuannya agar saya tidak segera pulang ke rumah. Saya mengikuti ekskul karawitan, hingga sekedar nongkrong sambil makan tempe goreng bersama kawan. Saya menghitungi uang infak selepas Jum’atan, hingga utak-atik blogspot sampai dikenal operator warnet dekat sekolah. Bagi saya, setidaknya saya bisa mendapatkan ‘keluarga’ baru dengan berkegiatan di luar sambil kewalahan mengatur waktu.


Saya juga sempat gigih ingin mendapatkan pengakuan dari laki-laki, pada saat menginjak awal remaja. Obsesi ini mengantarkan saya pada body shamming bagi diri saya sendiri. Karena laki-laki yang saya suka tidak menyukai saya (ini sebenarnya kerap terjadi hahaha), saya juga jadi tidak menyukai diri saya. Saya beranggapan bahwa pasti karena saya jelek dan miskin. Atau barangkali karena saya menyukai band My Chemical Romance dan membaca buku-buku NH Dini dan FLP yang kuno. 


Saya menjadi pemuja kecantikan dan terus menerus iri pada perempuan-perempuan cantik di dunia, karena betapa beruntungnya mereka bisa dengan mudah disukai laki-laki. Dunia menjadi tidak adil bagi saya (pada saat itu saya tidak kenal kultur patriarki dan Mitos Kecantikannya Naomi Wolf). Semakin saya mencari pengakuan dari laki-laki, semakin sering saya ditolak. Semakin sering juga saya update status galau dan semakin banyak follow akun galau di medsos. 


Meski demikian saya tidak menyerah, hingga akhirnya saya betul-betul bisa pacaran dengan laki-laki. Saya sempat sangat senang bisa mengikuti tren masa itu: pacaran ala-ala cerita romance di teenlit keluarannya Gramedia dan Komik Nakayoshi. Hingga saya terpentok kenyataan: saya berada dalam abusive relationship. Laki-laki itu tidak pernah betul-betul mencintai saya. Kenyataan ini baru saya sadari sekarang. Dulu saya hanya merasa, hubungan ini tidak semestinya dilanjutkan karena membuat saya semakin buruk.


Lalu, saya lari kemana lagi? Media sosial. Media sosial akhirnya menjadi pelarian utama saya untuk mendapatkan pengakuan dari netizen dan dinotice senpai. Saya ingin menunjukkan pada publik di luar sana bahwa saya juga seorang yang normal. Tapi ternyata menjadi normal saya tidak cukup. Media sosial menuntut saya untuk menjadi extra ordinary. Ada standar dari sistem yang bekerja, dan pada saat itu tidak saya ketahui. Saya harus memiliki tubuh yang seperti di iklan-iklan, prestasi gemilang seperti para Mahasiswa Berprestasi, kamera hits untuk mendapatkan foto yang brilian, status yang bijak seperti di facebook, gurauan lucu seperti di twitter, ke tempat-tempat populer sehingga gak ketinggalan cerita supaya bisa mereviewnya dengan teman-teman, bergaul dengan orang yang populer sehingga bisa ngetag mereka dalam satu post.


Dengan kata lain, saya harus mendapatkan apa-apa yang tidak ada di saya. Jangankan mau dapat Range Rover seperti Rachel Vennya, saya dapat teman saja susah! Karena pernah dibully oleh sekelompok teman, saya menjadi canggung untuk menjalin pertemanan atau kalau kata orang: sepaneng (dan pada akhirnya saya sadar bahwa kecanggungan ini bukan sebuah keanehan, saya berhak memilih lingkaran pertemanan yang sehat bagi diri saya). Saya menjadi berharap bisa mendapatkan teman dari dumay (baca: Dunia Maya), meskipun pada akhirnya tetap tyda bysa hhhhh. Saya menjadi lupa bahwa saya punya dunia nyata yang harus saya hadapi dan dunia itu tidak terpisah dengan realitas di medsos. Saya juga jadi lupa bahwa ada banyak orang yang perlu ditolong di luar sana.


Sebelum curhatan berkedok nasihat ini semakin panjang, saya persingkat: saya lalu sampai pada satu titik dimana saya menyadari, sepertinya ada yang tidak beres dengan kesehatan mental saya. I have a mental disorder. Ternyata sindrom ‘hasrat ingin diperhatikan’ berlebihan ini membuat saya terus menerus harus lari. Lari dari kenyatan. Sindrom ini membuat saya lelah. 

Saya ingin meyakini bahwa hidup dengan keluarga yang kacau, tidak berprestasi, tidak relijius, tidak kaya, tidak cantik, tidak pandai, tidak banyak kawan dan bukan siapa-siapa adalah bukan kehidupan yang salah. Bahwa memiliki haters adalah bagian dari hidup yang tidak bisa dipungkiri karena rumput tetangga memang ditakdirkan lebih hijau. Bahwa nyinyirin hidup orang lain dengan sangat terfokus untuk mencari kesalahannya adalah sebuah bagian dari hidup yang tidak bisa dihindari akan terjadi pada kita bahkan Maria Magdalena pun dulu dinyinyirin! Perempuan Suci gitu lho dinyinyirin!


Seperti cerita Melati dan Asoka di atas, sebelum menyadari ada yang tidak beres, saya dulu juga kebingungan atas apa yang saya hadapi. Namun, secuek apapun coba saya lupakan, dan segigih apapun masyarakat menilai depresi sebagai sebuah lelucon, saya tidak bisa menyembunyikan rasa lelah yang saya alami. Saya ingin sembuh. Beruntung saya memiliki akses informasi untuk mencari tahu langsung ke pihak professional bagaimana cara menyembuhkan diri. 


Ada banyak psikolog, psikiater, meditator, hingga pengobatan lainnya yang bisa ditempuh, seperti yang dikampanyekan Klub 2AM, zine yang ngebahas tentang kesehatan mental bagi remaja. Maka, saya sekarang berada dalam jangkauan therapist karena saya tidak bisa betul-betul sendiri dalam fase ini. Saya mengikuti pelatihan untuk menyelesaikan gangguan mental dan emosional saya. Proses ini memang akan memakan waktu sangat lama. Tapi ini adalah investasi yang luar biasa bagi masa depan saya: memiliki body, mind and soul yang sehat.


Lalu, apakah dengan saya menuliskan ini maka saya akan sembuh dari gangguan mental dan emosional saya? Tidak. Justru siapapun yang membaca ini bisa jadi akan menghakimi dan bahkan membully saya setelah tahu apa yang saya alami. Mereka barangkali akan berkata saya lemah, saya drama, saya lebay. Tapi, ini hidup saya. Orang lain memang hanya bisa menonton apa yang ada di depan panggung. Namun, kalian bisa mengambil pelajaran dari hidup saya yang saya ceritakan: bahwa jangan takut untuk menerima diri kalian apa adanya termasuk kondisi kesehatan mental kalian. 

Kata Jalaludin Rumi, berterima kasihlah kepada tubuhmu yang telah menjadi kendaraan bagi rohmu. Biar bagaimana pun rohmu sudah berjuang sejauh ini dan itu berharga. Dan jika kalian membutuhkan bantuan dari pihak professional untuk bangkit, jangan ragu untuk melakukannya. Sebab, kesehatan mental bukan lelucon. Dan berhentilah untuk melakukan bullying pada siapapun. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di balik tirai: yakni kondisi mental orang lain.



Jogja, 2017
Continue reading Kita Tidak Tahu Apa yang Ada Di Balik Tirai (Depresi dan Remaja)

Sabtu, 12 Maret 2022

Tarot Reading: Tren Baru Remaja untuk Mengungkapkan Kegelisahannya

Tarot reading atau pembacaan tarot kini dikenal tidak hanya sebagai sarana meramal atau fortune teller yang lekat dengan dunia mistik. Tarot reading ternyata dapat digunakan sebagai sarana pengembangan diri dan konseling untuk membantu mencari pandangan baru dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan. Tarot reading juga tidak lagi hanya melalui konsultasi bertatap muka, kini justru semakin laris karena bisa dijangkau dengan media sosial, seperti instagram, whatsapp dan line. Tak heran jangkauan penikmat jasa pembacaan tarot kini lebih luas variasi umur dan lokasinya, dari usia 15 hingga 70 tahun, dari Aceh hingga Papua. Komunitas yang menaungi pembaca tarot pun kini tumbuh sehat di berbagai kota besar di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Jogja, Semarang dan Surabaya.

Saya berkenalan dengan Kak Danik Yanuar (36 tahun), seorang pembaca tarot professional yang
berdomisili di Jogja. Perempuan yang pembawaannya riang ini, akrab dikenal sebagai pembaca tarot
favorit remaja. Kurang lebih dalam satu tahun belakangan, Kak Danik sudah membaca lebih dari 750
klien, karena dalam satu hari ia dapat membaca 3 hingga 5 klien. Mayoritas kliennya Kak Danik adalah remaja yang rata-rata berusia 18 tahun hingga 25 tahun. Cara bicara yang lugas, tegas, cerdas, namun juga jenaka, tak membuat Kak Danik menggurui dalam membaca tarot. Sosok seperti kak Danik inilah yang disukai oleh remaja, karena mereka yang butuh sosok yang pengertian, memahami energy mereka yang meluap-luap dan memahami keseharian mereka yang kerap diisi dengan galau karena asmara.


Yuk, disimak percakapan seru dengan Kak Danik!


1. Hai kak, ceritain dong aktifitas sehari-hari kakak sebagai tarot reader?

Haiii… Sehari-hari biasanya aku mulai dengan meditasi di pagi hari. Lalu baru deh mulai meet up dengan klien yang sudah janjian dari hari sebelumnya. Siangnya aku pakai buat istirahat. Baru setelah itu sore sampai malam aku melayani klien dari tarot online.
 

2. Apa sih suka dan duka jadi tarot reader?
Banyak sih kalau sukanya. Salah satunya itu kalau pas ada klien datang dan bilang dia merasa terbantu
atas pembacaan tarot kita. Ada klien yang datang dalam kondisi kebingungan sampai dia merasa sulit
lepas dari jebakan hidup, lalu setelah melakukan pembacaan tarot, dia jadi lebih optimis untuk
menyelesaikan permasalahannya. Cerita-cerita itu bikin aku bahagia. Aku juga dapat banyak teman baru. Dukanya adalah harus selalu siap menerima curhatan orang, seburuk apapun kondisi kita saat itu.
 

3. Paling sering dapat klien perempuan atau laki-laki kak?
Kebanyakan perempuan umur 18 hingga 25 tahun.
 

4. Wah masih muda-muda ya. Biasanya mereka tanya tentang apa kak?
Masalah paling sering yang mereka tanyakan untuk konsultasi adalah tentang percintaan dan karir. Usia-usia mereka adalah masa dimana krisis percaya diri meningkat, terutama ketika merasa ga punya pasangan
 

5. Apa aja yang mereka biasa tanyakan tentang percintaan?
Kapan dapat pacar, bagaimana perasaan cowok yang disuka terhadap mereka, apakah hubungan percintaannya akan awet, mengapa gebetannya berubah sikap, dan sekitar itu. Rata-rata mereka galau dan krisis kepercayaan diri karena melihat temannya sudah punya pacar terlebih dahulu. Lalu mereka merasa, “Kok kayaknya hidup temanku enak yak arena punya pacar”. Sehingga kalau ga punya pacar, mereka takut dibilang jomblo. Untuk yang sudah berumur 24-25 tahun, mereka biasanya males ditanya kapan nikah.


6. Apakah dari pertanyaan yang mayoritas sama, jawabannya juga mayoritas sama?
Walaupun pertanyaannya mayoritas sama, tapi jawabannya bisa beragam tergantung kasus. “Misal pertanyaan kapan dapat pacar?” bisa dijawab dengan 'waktu'. Misalnya ternyata bulan Oktober. Atau justru dapat jawaban seperi ini, “Jodoh akan datang jika kamu sudah move on.”


7. Terus kalau kliennya laki-laki biasanya tanya tentang apa kak? Mereka bisa galau juga?
Kalau laki laki biasanya di usia yang sama itu tanya soal pasangan atau soal karir. Iya laki-laki juga bisa galau dong, kan mereka juga punya hati. Justru laki-laki lebih lama proses move on-nya, karena mereka gengsi buat menunjukkan lukanya. Gengsi ini yang bikin luka mereka ga sembuh sembuh 😀


8. Oh gitu ya.... Memangnya belum move on mempengaruhi dapat pasangan ya kak? Bagi tips move on dong kak berdasarkan pengalaman kakak membaca tarot selama ini.

Iya, belum move on jelas mempengaruhi proses kita mendapatkan pasangan baru. Belum move on membuat kita membandingkan setiap orang yang datang kemudian dengan masa lalu kita. Tapi ada justru ingin cepat-cepat punya pacar dengan alasan supaya cepat move on. Itu seperti menjadikan hatinya seperti barang, yang bisa mudah dipindahin. Mindahin hati seperti pindah kos-kosan. Ketergesaan yang seperti ini justru sering kali menambah masalah baru dalam hidup.
 

Move on itu bukan melupakan. Move on itu masih ingat tanpa terluka. Ya diterima dulu kalau kamu memang sedang dan telah terluka. Lalu maafkan dirimu sendiri karena pernah bodoh percaya sama janji palsu. Sabar sama dirimu dan hatimu. Jangan terburu buru, semua butuh waktu. Kalau memang masih butuh menyembuhkan luka ya sembuhkan dulu. Jangan mengharapkan orang lain akan menyembuhkan lukamu. Sebab lukamu itu adalah tanggung jawabmu.


9. Iya ya, namanya remaja kadang hobinya terburu-buru kalau ambil keputusan. Terus, ada yang tanya tentang permasalahan keluarga gak kak?

Ada, beberapa datang ke aku dengan kasus hubungan dengan orang tua yang ga pernah baik. Biasanya karena dipaksakan untuk ikut keinginan orang tua, sedangkan mereka memiliki keinginannya sendiri. Ini terjadi karena biasanya orang tua memiliki citra anak ideal adalah yang a, b, c. Anak pun sebenarnya juga punya citra orang tua ideal itu a, b, c. Ketika citra ideal ini tidak mengalami titik temu di antara orang tua dan anak, orang tua menjadi kecewa kepada anak, dan anak merasa ga dimengerti orang tuanya. Sehingga perlu adanya kompromi.


Anak perlu menerima bahwa orang tuanya tidak sempurna, pun orang tua juga semestinya berlaku demikian kepada anaknya. Tuntutan orang tua yang terlalu tinggi kepada anak sering kali membuat anak merasa menjadi manusia yang gagal. Lalu orang tua yang memiliki tipe otoriter seperti itu akan menjadikan anak yang tidak terbuka, baik kepada orang tuanya maupun kepada lingkungan di sekitarnya. Selain itu ada lagi kasus anak yang menjadi korban KDRT dari orang tuanya.
10. Sedih ya ketika anak dianggap sebagai manusia yang gagal. Ada saran gak kak supaya orang tua dan anaknya yang remaja bisa saling memahami?


Dengan menyadari bahwa orang tua atau anak adalah manusia biasa, tidak ada yang sempurna, akan membuat kita lebih bisa memaklumi jika orang tua atau anak berbuat salah. Orang tua juga mesti menyadari anak itu punya keinginan, punya jalan hidup, dan definisi bahagia yang berbeda dengan orang tuanya. Penting untuk memahami bahwa menjadi remaja bukanlah hal mudah. Mereka anak kecil bukan, orang dewasa juga bukan. Makanya banyak remaja yang bingung sama kondisi dirinya. Nah, tugas orang tua adalah mendukung si anak menemukan 'dirinya' selama itu tidak berbahaya.


11. Ada yang datang ke kakak dalam kondisi tertekan atau depresi gak?
Iya, beberapa datang dalam kondisi depresi. Kalau sudah begitu, Biarkan mereka meluapkan apapun yang ada di dalam dirinya. Tidak perlu dibantah atau dinasehati. Pahami bahwa apa yang mereka alami sungguh melelahkan. Dengan cara seperti itu mereka akan yakin padaku. Setelah mendapatkan kepercayaan itu, baru pembacaan tarot bisa dimulai. Bahkan beberapa dari mereka datang bukan untuk mendapatkan solusi atau nasihat, sebab mereka merasa lebih membutuhkan dukungan dan pelukan.


12. Ada pengalaman yang menarik gak kak selama berhadapan dengan remaja-remaja ini?
Wah, ada banyak pengalaman yang mengesankan. Misalnya, seorang remaja usia 18 tahun rela diperlakukan kasar oleh pasangannya. Alasannya adalah karena dia takut kalau diputuskan hubungannya dengan si pasangan, sebab nanti waktu prom night dia ga punya pasangan. Untuk meyakinkan dia bahwa apa yang dia korbankan ga setara dengan apa yang dia dapatkan itu lumayan berat. Apalagi meyakinkan bahwa dia bisa lebih bahagia tanpa pasangan.
 

Ada juga cerita dari seorang anak yang hampir bunuh diri. Setelah didengarkan ceritanya, ternyata karena ayahnya berselingkuh, ibunya menjadi depresi. Kemudian si ibu justru melampiaskan
kemarahannya kepada anak, sehingga anaknya tidak sanggup menanggung beban lagi. Ketika orang tua memiliki masalah, sebenarnya anak yang menanggung beban ganda.


13. Wah, antara serem dan menarik ya pengalaman kakak. Terakhir nih, kak, kasih saran dong buat remaja di luar sana yang masih galau karena tidak percaya diri dengan dirinya sendiri berdasarkan pengalaman kakak membaca tarot untuk remaja?

Jangan membandingkan hidupmu dengan orang lain. Sabar dengan diri sendiri. Kalau kita bisa memaafkan dan toleransi dengan kesalahan orang, masa kita ga bisa begitu sama diri sendiri?


14. Terima kasih banget ya kak sudah mau ku wawancara. Semoga wawancara ini bisa menjawab sedikit tentang kegelisahan kita tentang remaja ya!
Hahahaha. Iya, sama-sama. Senang bisa membantu!
 

Demikianlah percakapan saya dengan Kak Danik. Seru bukan mengetahui bahwa dengan pembacaan tarot ada banyak remaja di luar sana yang terbantu untuk mengatasi permasalahannya di saat orang tua mereka tidak mendukung mereka. Ternyata pembacaan tarot tidak semenyeramkan yang kita duga ya! Semoga percakapan kami bisa membantu siapapun remaja yang membaca tulisan ini, untuk memahami dirinya sendiri dan sekelumit persoalan yang dialami oleh remaja.


Jogja, 2017

Continue reading Tarot Reading: Tren Baru Remaja untuk Mengungkapkan Kegelisahannya

Rabu, 09 Februari 2022

Kemana Saya Harus Pulang?

Sebagai seorang anak yang tumbuh besar dari kota ke kota, menetap di satu tempat adalah hal asing. Bahkan hingga saat ini, di usia jelang kepala tiga, saya masih hidup berpindah karena pekerjaan maupun karena memutuskan untuk mengganti suasana tempat tinggal. Saya asing dengan kata pulang yang identik dengan menetap.

Sebagai seorang anak yang tumbuh besar dengan keluarga yang tidak serumah, tinggal bersama dengan anggota keluarga yang lengkap adalah hal asing. Bahkan hingga saat ini, di usia yang sedang ranumnya diminta untuk berkeluarga, saya masih hidup dengan tidak satu rumah dengan keluarga saya karena pekerjaan keluarga saya maupun karena saya memutuskan untuk hidup mandiri. Saya asing dengan kata pulang yang identik dengan kumpul keluarga.

Untuk merunut saya berasal dari suku bangsa apa saja saya kesulitan, apalagi untuk merunut kemana saya harus pulang. Lalu dari tahun ke tahun saya habiskan untuk mencoba mengalami seperti yang teman-teman saya alami, yakni pulang dan menetap. Saya ingin merasakan apa yang kebanyakan orang rasakan, meski akhirnya menyerah pada menghabiskan Idul Fitri di kamar tidur tanpa pergi kemanapun, tidak bersilaturahmi dengan siapapun dan keluarga juga tidak berkumpul.

Hingga akhirnya saya berhenti menjadikan kata pulang dan menetap sebagai target atau achievement, karena saya mengalami kesulitan untuk menyamakan konsep pulang dan menetap saya dengan yang orang lain kebanyakan. Saya semakin merasa terasing ketika memaksakan diri untuk pulang dan menetap karena ternyata pulang dan menetap bukan sekedar memiliki rumah (ngontrak atau milik pribadi) dan keluarga. Namun tentang rasa aman untuk menjadi diri sendiri dimanapun dan dengan siapapun.

Lalu saya memutuskan untuk mencoba pulang dan menetap pada diri saya sendiri. Pada tempat yang akan selalu ada untuk saya, pada sosok yang akan selalu ada untuk saya, yakni diri saya sendiri. Perihal kepemilikan rumah dan keluarga satu per satu tentu tetap saya usahakan, sembari saya menjadikan diri saya sendiri sebagai ruang aman bagi diri saya sendiri sebelum kelak menjadi ruang aman bagi pasangan dan anak saya.
Continue reading Kemana Saya Harus Pulang?

Minggu, 25 Oktober 2020

Kesenangan dari Bercerita







Mari kita isi postingan kali ini dengan obrolan ngalor-ngidul (utara-selatan). Ngalor-ngidul digunakan untuk istilah kemana-mana seperti pergi dari utara ke selatan. Jauh men.

Jadi di kepalaku itu banyak banget yang mau aku tulis jadi postingan blog, tapi selalu end up nggak jadi. Kenapa? Pertama karena mager. Kedua karena masih krisis kepercayaan diri buat nulis. Bahkan di platform pribadi pun aku masih merasa tidak memiliki otoritas penuh terhadap tulisanku hahahaha. Ketiga karena aku memang tidak menyempatkan diriku sekedar berlatih menulis, padahal menulis sebenarnya adalah hal yang kusukai.


Kabar baiknya setidaknya di postingan ini aku mencoba lagi.

Tulisan panjang untuk blog sebenarnya cukup melelahkan buatku karena harus mikir lebih lama. Sedangkan untuk berpikir aja aku sulit hahahaha. Makanya lebih tertarik nulis kepsyen di Instagram atau status facebook yang pendek-pendek aja. Ya meskipun beberapa akhirnya jadi panjang juga karena hasrat berceracau yang tiba-tiba naik, seperti sekarang ini.

Lalu aku menyadari ternyata aku suka bercerita. Aku akan terus melakukannya kali ini tanpa ekspektasi akan didengarkan atau dibaca oleh orang. Ekspektasi ini membuatku pamrih dan lupa bahwa bercerita saja sudah menyenangkan buatku. Teman dekatku (iyaaaaa uhuhuhu akhirnya) sampai bilang setiap aku bercerita, nada bicaraku akan berbeda, raut wajah dan gesture tubuhku juga berbeda. Katanya, aku jadi bersemangat.

Sebenarnya saat menulis postingan blog juga aku sebersemangat itu hahahaha. Makanya waktu dulu dibela-belain nyisihin uang jajan cuma buat biar bisa bayar billing warnet yang kugunakan untuk posting tulisan yang sudah aku tulis di laptopku terlebih dahulu.

Bercerita ternyata punya peran yang besar banget ya. Story telling atau penceritaan bisa memberikan nilai tambah dalam penjualan produk. Terus bisa bikin orang semakin keliling-keliling banyak tempat karena jadi story traveler. Bisa bikin banyak orang menghasilkan buku novel atau cerpen atau apapun atas namanya sendiri. Bisa juga bikin orang menjadi terkenal karena cerita-ceritanya gemar didengarkan orang. Terbaru, aku baru tahu bahwa story telling bisa digunakan sebagai sarana penyembuhan kesehatan mental.

Ada banyak banget cerita di dunia ini dan ternyata setiap cerita akan memiliki caranya sendiri hingga didengarkan oleh orang-orang yang membutuhkan. Aku pun suka mendengarkan cerita.

Jadi, akan aku isi lagi blog ini dengan cerita-cerita acak dan underrated dariku. Selamat membaca (lagi)!
Continue reading Kesenangan dari Bercerita

Minggu, 15 Desember 2019

Akhir Tahun 2019, Mengakhiri Masa-Masa Sulit



Tidak terasa ternyata 2 tahun berlalu sejak saya menulis post Melalui 2017 dengan Mengetahui Lebih Banyak. Post itu ketika saya baca kembali, membawa saya ke masa dimana saya sedang sangat tertekan dan penuh kebingunan dalam menjalani hidup sejak tahun 2016. Bagaimana saya menulis di post itu menunjukkan bahwa untuk menulis sebuah gagasan yang utuh saja saya tidak mampu karena terlalu kalut hahaha. Tapi, membaca lagi post itu membuat saya senang, karena saya pernah menulis ketika saya berada di masa sulit, sehingga ketika masa itu berlalu, saya menjadi lebih sadar bahwa masa sulit pasti akan berlalu dan dapat saya lalui. Meskipun masa itu berlalu setelah 2 tahun kemudian, yakni tahun 2019.

Continue reading Akhir Tahun 2019, Mengakhiri Masa-Masa Sulit

Rabu, 16 Januari 2019

, , , , , , , ,

My Generations dan Posesif: Remaja di Indonesia dan Hal-hal yang Tidak Dibicarakan (review)



Ceritanya udah lama banget pengen ngulas dua film yang mengubah akhir tahun 2017 saya menjadi akhir tahun terbaik: My Generations dan Posesif. Film lokal yang mengangkat isu tentang remaja dengan perspektif yang segar dan sangat intim. Ketidaktahuan saya tentang kedua film ini sebelumnya, berubah menjadi berkah karena sempat menonton kedua film ini. 
Continue reading My Generations dan Posesif: Remaja di Indonesia dan Hal-hal yang Tidak Dibicarakan (review)